Meriwayatkan Jarak dan Rembulan yang Terserak, Aji Susanto Anom
Oleh Prasetya Yudha
Aji Susanto Anom menyebut publikasi foto cetak terbarunya, Meriwayatkan Jarak dan Rembulan yang Terserak, sebagai bagian dari jurnal pribadi, yang mendokumentasikan perenungannya atas lanskap jarak yang memisahkan dirinya dan istrinya, khususnya dalam waktu satu tahun belakangan.
Menggunakan fotografi sebagai perangkat tulis jurnal, Aji, sekali lagi, meneruskan langgam dokumentasi personal yang menjadikan keluarga sebagai pusat domestikasi kehidupan sehari-hari. Menggunakan foto hitam-putih, Aji menggubah berbagai ungkapan simbolis melalui rekaman langsung peristiwa dan suasana lingkungan sehari-hari. Foto-fotonya memanfaatkan citraan alam sebagai proyeksi kerinduan terhadap pasangan hidup.
Selayaknya penulisan jurnal pribadi yang tidak perlu memiliki kaidah baku, catatan gambaran kondisi mental melalui berbagai ungkapan simbolis yang terserak dalam jurnal Aji tentunya bisa dibangun sesuka hati. Catatan mental sejatinya berasal dari ruang privat, tertutup, terkunci, tersembunyi. Ketika yang tersembunyi terpublikasi, hal inilah yang disebut oleh Teju Cole sebagai ironi (jika bukan paradoks) dalam menampilkan foto: menyebarluaskan ke publik sesuatu yang lahir secara rahasia. Hal yang membikin pemirsa-pembaca hanya bisa berspekulasi atas makna potensial yang tersedia. Terlebih jika menyadari bahwa simbol yang dibuat tidak selalu berdasar realitas di alam. Terjadi perubahan fungsi, seperti citra bulan dalam jurnal Aji.
Berawal dari citra bulan pada sampul depan dan belakang jurnal yang sudah menarik perhatian. Sebuah foto benda putih padat berbentuk setengah lingkaran yang sekujur permukaannya penuh bercak hujan, disandingkan dengan foto close-up bulan setengah lingkaran. Pengaturan skala dan letak kedua foto sampul tersebut dibuat sejajar. Ketika kedua sampul dibentangkan, tersirat intensi untuk menunjukkan stereotip ciri fisik bulan. Upaya penjajaran objek-yang-menyerupai dan bulan itu sendiri, bisa dibaca sebagai strategi untuk melucuti fungsi. Dari sini, sejak awal, Aji seperti memberi kode keras kepada pemirsa-pembaca bahwa citra bulan yang terserak di sepanjang isi jurnal bukan mengenai studi astronomi. Jelas. Aji cenderung memanfaatkan gagasan romantika yang terkandung dalam citra bulan.
Membicarakan gagasan romantika dalam konteks hubungan sepasang insan, Aji merangkai sesuatu yang masygul. Ya, masygul. Satu kata yang tertangkap untuk menggambarkan sifat foto hitam putih yang terekam dalam jurnal Aji. Bukan murung. Bukan pula sedih yang berlarut. Lebih ke arah bersusah hati karena menyadari kerapuhan berada di ruang sendiri. Ruang yang sepertinya tidak nyaman Aji tinggali. Ruang yang membuat penglihatannya buram seperti foto-fotonya. Di dalam ruang inilah Aji merenungi kerinduannya. Di dalam kondisi ruang penglihatan inilah Aji merangkai baris lirik masygulnya. Didedikasikan untuk belahan jiwanya. Pasangan hidup yang sepertinya berada jauh di sana.
Bangunan lirik rangkaian foto Aji memosisikan citra bulan sebagai jangkar pengungkapan. Sengaja dimunculkan berulang-ulang. Baik bulan yang difoto secara close-up yang mengingatkan pada penglihatan lewat teleskop, maupun yang direkam menggunakan lensa lebar yang membuat bulan serupa setitik cahaya di angkasa, selayaknya penglihatan normal manusia. Dalam variasi jarak ini, bulan tampil dalam beberapa fasenya. Perubahan bentuk bulan bisa dibaca intensinya sebagai perenungan soal waktu. Perenungan yang Aji terus gemakan untuk mencipta suara pantulan detak jarum jam, tik tok tik tok tik tok.
Fotografi mungkin merupakan media senyap, tetapi saat merekam pengalaman bunyi, foto-foto ini menaikkan volume.
Foto-foto di jurnal Aji, tidak sedikit yang mengandung potensi bunyi. Foto yang mengandung bunyi terekam kuat dalam foto yang menangkap gejala alam, baik kebendaan maupun kejadian. Disokong oleh kemampuan olah teknisnya, seperti kefasihan penggunaan lampu kilat, Aji mengintervensi berbagai gejala alam di hadapannya untuk mencipta intonasi.
Pada sebuah halaman jurnal, Aji menampilkan hujan yang ritmis. Diubahnya titik-titik air menjadi garis-garis cahaya yang berjatuhan secara harmonis. Di halaman sebelahnya, tampak dipotret dari sebuah objek reflektif, di mana Aji tampak memanfaatkan pantulan lampu kilat yang menabrak objek untuk menangkap sebuah imaji astral. Penyandingan kedua foto ini membangun pengalaman bunyi yang mengingatkan pada sebuah komposisi musik latar film gubahan Hans Zimmer.
Penggunaan teknis lampu kilat memang berpotensi kuat memengaruhi tinggi nada sebuah foto. Meskipun tidak semua foto dengan pendekatan ini berhasil merekam pengalaman bunyi seperti yang disebut tadi. Tingginya nada yang dihasilkan oleh foto Aji, khususnya yang bercorak abstrak, cenderung mengarah pada suatu luapan yang mengingatkan pada garis emosi. Tercermin dari sebuah bentang halaman yang menampilkan secara penuh foto close-up tumpukan bola transparan di mana permukaannya penuh titik-titik air. Juga dengan foto barisan cahaya yang merayap menuju arah mata seseorang yang dibuat samar pada bentang halaman penuh setelahnya. Pada kedua foto yang menunjukkan variasi luapan emosi ini, Aji juga tampak bertendesi menunjukkan gagasan semesta secara persepsi.
Sementara itu, nada rendah foto Aji muncul dari foto siluetnya. Khususnya yang menampilkan sosok perempuan. Bagaimana Aji menggambarkan sosok perempuan di fotonya lebih mengisyaratkan nada sendu. Tercermin dari foto siluet profil seorang perempuan yang sedang membelakangi pelangi. Juga pada penyandingan foto burung dan sebuah objek yang menyerupai patahan sayap. Foto pada bagian awal jurnal ini mempunyai daya liris yang membuat seseorang ingin segera menulis lirik lagu.
Foto terkuat yang menggambarkan kondisi mental Aji dalam jurnal ini adalah sebuah foto yang memiliki jangkauan nada yang luas. Kualitas ini bisa ditemukan dari sebuah foto yang Aji ambil dari belakang cabang pohon kering. Julur cabang membingkai dari kejauhan siluet seseorang yang sedang berdiri di sebuah ketinggian. Efek dramatis dari penggunaan lampu kilat pada foto ini efektif karena tidak hanya mampu menangkap detail sawang yang terentang di sela cabang pada bagian sisi kanan dan atas foto, tetapi juga menampakkan jarak imajiner yang terbangun dari perbedaan terang gelap pada latar depan dan belakang. Kedalaman perspektif pada foto ini memberi efek pukau yang bisa membuat pemirsa-pembaca berlama-lama memindai setiap penanda dan mengalami gejala bunyi. Foto seperti inilah yang berhasil memberi ruang lega kepada pemirsa-pembaca untuk mendengarkan gema yang berasal dari ruang sendiri.
“A picture is worth a thousand words” is a category error. No one thinks of saying a song is worth a hundred dances. Certain songs are fine to listen to by themselves, but certain others, equally strong, gain something when a dancer rises up to meet them. – Teju Cole
Sebagai bagian dari jurnal pribadi, Meriwayatkan Jarak dan Rembulan yang Terserak berisi kumpulan foto yang berkenaan dengan hubungan emosional. Berpaut dengan fase hidup Aji yang sedang dilanda rindu. Sulit untuk membaca jurnal ini tanpa melepaskan bayangan diri Aji. Sulit pula menghindari bangunan citraan bernada curahan hati. Ditambah dengan penggunaan efek teknis yang tidak sedikit mengarah pada dramatisasi. Di luar kesulitan yang ditemukan, muncul kegembiraan dari pengalaman bunyi yang ditawarkan oleh foto Aji. Kegembiraan ironis yang didapati dari kesunyian sebagai bunyi itu sendiri.
*Foto penampilan buku oleh Aji Susanto Anom
**Informasi tentang Meriwayatkan Jarak dan Rembulan yang Terserak bisa dilihat di sini.