Ny. Patri

Catatan Workshop Buku Foto Yumi Goto, JIPFest 2022

Fotografi yang saya kenal adalah fotografi yang mengecewakan. Ini saya alami saat kuliah, masa ketika saya mencoba mencari tahu manusia seperti apakah saya? Nilai moral seperti apa yang ingin saya pegang dalam hidup? Fotografi yang saya kenal ketika kuliah adalah tentang bagaimana subjek foto diobjektifikasi, whitewashing, dan eksotisme berlebihan terhadap budaya “liyan”, hingga narasi-narasi visual yang diulang-ulang dan akhirnya hanya menjadi jargon semata. Semua itu membuat saya melihat fotografi dengan sinis dan pada akhirnya apatis.

Namun pengalaman di luar kampus, seperti saat membaca buku Kisah Mata oleh Seno Gumira Ajidarma, meyakinkan saya bahwa fotografi yang saya inginkan sesungguhnya ada di luar sana. Barangkali saya hanya belum bertemu dengan apa yang saya cari. Saya mungkin harus melipir sebentar, bermain-main di bidang lain. Saya tetap memelihara harapan, suatu saat saya mungkin akan kembali pada fotografi.

Harapan saya ternyata berbuah. Pada September 2021, Kurnia Yaumil Fajar, teman sejurusan saya dulu menghubungi untuk mengajak kolaborasi sebagai editor di proyek buku foto berbasiskan arsip. Saya sempat kaget karena kami dulu tidak dekat dan hanya sesekali mengobrol, meski sejujurnya saya mengagumi kerja-kerjanya di SOKONG! bersama teman-teman lain. Karenanya, saat Nia mengajak saya sebagai kolaborator, saya cukup terkejut.

Di pertemuan pertama kami, Nia memberi tahu saya tentang Unhistoried, sebuah proyek berbasis arsip oleh Arif Furqon dan Reza Kutjh. Mereka berdua mengoleksi ribuan foto lawas yang didapat dari pasar loak hingga sumbangan orang. Proyek mereka adalah memanfaatkan koleksi arsip foto tersebut. Seperti menjadikannya bahan untuk penelitian ataupun materi pameran seni.

Sore itu, saya dan Nia mengobrol soal bagaimana arsip-arsip foto yang mereka punya kaya dengan subjek-subjek perempuan di era Orde Baru. Jujur, saya bersemangat membayangkan kemungkinan-kemungkinan yang bisa kami lakukan dengan itu. Bahan-bahan yang ada membuat saya terkesima. Berasal dari keluarga yang menganggap mendokumentasikan momen dalam hidup bukanlah kebutuhan utama, saya mempunyai sedikit sekali foto keluarga. Melihat ribuan arsip keluarga, saya cukup terharu. Siapakah mereka, bagaimana kisah mereka, apa yang terjadi saat foto itu diambil?

Perasaan terkesima itu sebentar saja. Karenai saat yang sama, saya khawatir dengan kapasitas saya. Foto-foto yang ada rata-rata menampilkan perempuan-perempuan Jawa kelas menengah terdidik di era Orde Baru, sesuatu yang sangat jauh dari latar belakang saya. Saya takut salah menggunakan perspektif atau menginterpretasi arsip visual yang ada. Saya banyak membaca wacana kritis, tetapi tak tahu bagaimana menuangkan apa-apa yang saya baca itu untuk menafsir foto-foto supaya tidak mendemonisasi para subjek. Ketika pulang dari Sokong, sambil mengendarai motor Honda Astrea Star keluaran 1998, saya banyak termenung. Bisakah saya melakukannya?

Keraguan itu yang membuat saya tidak meneruskan komunikasi dengan Nia selama beberapa bulan. Saat akhirnya Nia mengajak bertemu, saya jadi tahu dia ternyata juga punya ketakutan tentang proyek ini. Pertemuan ini membuat kami sepakat untuk maju terus.

Workshop “Photobook as an Object” oleh Yumi Goto bersama Kenji Chiga dalam program JIPFEST 2022 menjadi salah satu batu lompatan bagi proyek ini. Nia mengabari adanya program ini pada Agustus 2022, bertanya apa memungkinkan kalau saya ikut? Program ini mungkin bisa membantu menemukan jalan bagi kebuntuan kami. Saat itu saya baru resign dari tempat kerja saya selama tiga tahun, namun sedang cukup sibuk dengan beberapa pekerjaan lepas. Namun, mengetahui saya dapat belajar banyak hal baru jika mengambil kesempatan ini, saya menyetujui saran Nia.

Benar saja, menjelang workshop digelar, kami intens berkomunikasi tentang proyek ini. Kami mensortir, menyeleksi, berdiskusi dari sudut pandang mana kami harus melihat subjek-subjek foto yang ada. Saya menceritakan latar keluarga saya, begitu pula Nia. Kami berbagi pengalaman tentang bagaimana konsep keluarga, bagaimana peran seorang ibu/istri dalam keluarga berdasarkan apa yang kami alami dan rasakan. Pengalaman antara satu perempuan dan perempuan lain bisa saja berbeda, tetapi bukan tidak mungkin ada kesamaan di antaranya. Kami ingin menemukan hal-hal universal yang dialami perempuan kelas menengah di masa Orde Baru.

Obrolan-obrolan panjang di sela kesibukan Nia dan kesantaian saya sebagai pengangguran akhirnya menemukan titik terang. Kenapa kita tidak mencoba menceritakan kisah para perempuan ini dengan kondisi zaman yang menyelubungi mereka? Bagaimana identitas mereka sebagai istri dan ibu yang dikonstruksi oleh negara yang sangat patrilineal? Dan di antara hal-hal domestik itu, adakah agensi yang mereka punya?

Tentu saja ini menghadirkan kekhawatiran baru, seperti bagaimana jika sudut pandang kami terlalu elit? Bagaimana jika kami malah seolah permisif terhadap struktur yang kala itu memang merugikan posisi perempuan? Bagaimana jika kami malah tidak berempati pada korban-korban dari struktur yang ada?

Kami perlu pandangan orang lain yang sudah terbiasa bekerja dengan arsip visual sebagai bahan narasi cerita untuk memberi pandangan akan kegalauan kami sendiri. Kami yakin workshop Yumi akan banyak membantu. Yang tidak saya sangka, peserta-peserta lain yang hadir di workshop itu juga banyak membantu, memberikan masukan dan pandangan mereka akan proyek ini.

***

Akhirnya, pada 14 September 2022, berangkatlah saya ke Jakarta bersama Mas Prasetya Yudha Dwi Sambodo, suami Nia. Mas Pras hadir sebagai peserta workshop dengan proyek buku fotonya sendiri. Ketika masuk ruangan workshop di kafe Kala di Kalijaga esoknya, dinding-dinding dipenuhi foto-foto proyek peserta lain. Mereka semua sedang melakukan sequencing: bagaimana kira-kira nanti urutan foro yang akan masuk di buku mereka sehingga narasi yang ingin diceritakan dapat mengalir.

Saya segera melakukan hal yang sama. Jujur, waktu itu saya hanya menempelkan dan mengurutkan foto yang ada berdasarkan intuisi. Saya dan Nia sama-sama melakukan kurasi dari ribuan arsip, sehingga hanya terpilih sekitar 100-an foto saja. Foto-foto yang saya pilih kebanyakan frontal menunjukkan aktivitas para subjek, baik di lingkup domestik maupun non, di rumah maupun di luar, sementara Nia banyak memilih foto dengan simbolisme dan pesan yang subtil, sesuatu yang tidak pernah saya pikirkan dan memperkaya narasi yang ingin kami sampaikan.

Sampailah saat kami harus mempresentasikan proyek kami kepada Yumi dan para peserta lain yang bukan orang Indonesia. Setiap orang mendapatkan waktu selama 10 menit, dan selama menunggu giliran, saya menyusun cerita dalam kepala. Proyek kami sangat kental dengan latar sejarah dan politik masa Orba, tentang Ibuisme Negara, domestifikasi peran perempuan, hingga sejarah pelemahan peran organisasi perempuan setelah Orde Lama, sesuatu yang sangat spesifik dan kadang orang Indonesia sendiri tidak familiar. Bagaimana cara saya menyampaikannya agar orang asing mendapatkan gambaran yang tepat? Saya akhirnya meminta tolong salah satu panitia sebagai translator. Saya bisa bahasa Inggris, tetapi saat itu saya memilih menyampaikan konsep awal dengan bahasa Indonesia supaya ide saya clear, sembari mengamati bagaimana translator menyampaikan cerita saya ke Yumi dan peserta asing lain.

Saat selesai presentasi, Yumi meminta saya melengkapi narasi visual dengan arsip berupa dokumen, sesuatu yang dapat “dipegang” dan memberikan fakta yang riil tentang kondisi di masa itu. Foto-foto yang ada tidak dapat menyampaikan narasi yang saya maksud dengan utuh tanpa dukungan surat, potongan berita/artikel dari media massa, hingga dokumen formal berupa kartu identitas yang menunjukkan konteks yang lebih detail dari sebuah masa. Saya sadar hal ini memang wajib dilakukan. Narasi yang ada akan terlalu mengawang-awang jika hanya bersandar pada foto.

Untunglah, semesta seperti mendukung proses pelengkapan data saya. Di acara yang sama, saya bertemu Mas Arif Furqon dan Mas Reza Kutjh, keduanyalah yang menggagas Unshistoried. Saya meminta tolong apakah mungkin mendapatkan sumber visual berupa dokumen, artikel, atau materi pendukung lain untuk melengkapi arsip foto yang ada? Sementara itu, saya juga mencoba membuka-buka majalah Kartini Edisi 605 tahun 1997 yang saya bawa, juga menelusuri warungarsip.co untuk memperkaya bahan.

Beberapa tambahan arsip segera saya dapatkan di hari kedua workshop. Beberapa artikel yang mendukung argumen saya seperti “Presiden Soeharto: Kaum Ibu Penentu Kehidupan Keluarga” (Majalah Kartini Edisi 605, 1997); “Potensi Wanita Wajib Diperhitungkan” (Berita Yudha, 1979); “Kepribadian Wanita” (Rubrik Nyonya Par Sachlan, KIBLAT No. 14, 1983), yang menunjukkan konstruksi keperempuan sejalan dengan ideologi ibuisme negara digaungkan di media massa. Kartu-kartu identitas yang entah kenapa banyak menyematkan panggilan “Ny.” di depan nama perempuan. Ada pula surat-surat yang bercerita tentang permasalahan domestik, kekhawatiran pribadi, dan curahan hati para perempuan di era itu.

Sumber arsip dokumen ini berkesinambungan dengan foto-foto yang telah saya dan Nia kurasi. PR berikutnya adalah bagaimana menyusun bahan-bahan yang ada hingga dapat bercerita sendiri tanpa perlu saya jelaskan. Dan, di situlah awal mula ketersesatan saya.

Domestifikasi perempuan begitu kental di era Orde Baru, dan hal inilah yang kemudian saya coba telusuri dalam foto-foto yang ada. Namun, saya terjebak pada perasaan bahwa semua foto dan dokumen penting karena menggambarkan itu, sehingga saya memasukkan banyak sekali arsip di dummy pertama. Tebalnya menjadi 108 halaman dengan narasi yang ruwet dan saling tumpang tindih. Setiap bagian seperti punya cerita sendiri-sendiri sehingga jadi terlalu “berisik” dan melompat-lompat.

Ketika menunjukkannya pada Nia, dia pun seperti bingung dengan susunan arsip saya. Dan saya semakin sadar bahwa sequencing saya mbulet ketika mempresentasikannya di depan Yumi keesokan paginya. Setiap membuka lembar demi lembar, saya harus menjelaskan intensi saya meletakkan ini setelah foto/dokumen ini karena alasan seperti ini. Saya tahu bahwa saya sudah melakukan kekeliruan, namun terus mencoba menjelaskan, hingga Yumi menghentikan saya dan berkata bahwa “Kamu tidak mungkin, kan, harus menceritakan ini semua pada setiap orang yang membuka bukumu?” 

Komentar Yumi berikutnya membuat saya tertegun. Baginya, narasi saya terlalu jumpy, saya alpa meletakkan jembatan antara satu bagian ke bagian lain sehingga cerita saya terasa tidak utuh. Menurutnya, kelak, jika buku ini dipajang di suatu tempat tanpa saya, seharusnya orang yang bahkan tidak tahu konteks sejarah Indonesia tetap dapat menangkap dan memahami cerita lewat susunan arsip. Karenanya, bagi Yumi, saya tidak boleh hanya berempati pada subjek foto-foto saya (tidak tega membuang ini dan itu), tetapi juga pada audiens buku saya. 

Ia kemudian membuka kembali dummy itu, memberi masukan bagian mana saja yang punya potensi untuk tetap dipertahankan dan mana yang harus saya relakan. Di antara beberapa visual, foto-foto perempuan yang wajahnya sengaja saya tutupi kartu identitas menarik perhatiannya. Baginya itu bisa diletakkan di bagian awal buku. Intensi saya untuk membicarakan bagaimana negara mendefinisikan perempuan harus sudah dimulai dari halaman pertama.

Segera setelah itu, saya mencoba mengedit ulang susunan visual saya. Beberapa proyek peserta yang hadir juga memiliki kesamaan dengan saya, seperti Sisca yang membawa proyeknya tentang tiga generasi perempuan dalam keluarganya yang keturunan Cina, tentang bagaimana kebijakan anti-Cina di masa Orde Baru mendefinisikan identitas mereka, hingga tragedi 1998 yang traumatis. Ia pun banyak menggunakan arsip berupa kartu keluarga, catatan-catatan personal, hingga dokumen identitas pribadi keluarganya untuk memperkuat foto yang ada. Nori, di sisi lain, membawa proyek tentang hubungannya dengan anak lelakinya yang pelan-pelan menjadi dewasa. Buku itu adalah kolaborasi ia dan anaknya, mereka memotret satu sama lain dengan begitu puitik, menggunakan pohon sebagai simbolisasi sesuatu yang tumbuh.

Presentasi, perspektif, dan masukan-masukan dari mereka menjadi inspirasi sendiri bagi saya. Misalnya, saran Sisca untuk menempatkan beberapa kutipan dari buku Ibuisme Negara di antara beberapa foto agar saya memiliki argumentasi atas susunan visual saya. Kepada Nori saya bercerita tentang keluarga saya yang hampir tidak memiliki foto, karenanya arsip-arsip Unhistoried membuat saya tergerak. Ia meyakinkan saya bahwa apa yang saya kerjakan beresonansi dengan pengalamannya sebagai ibu dan perempuan.

Setelah melakukan editing, saya mencetak dummy kedua. Arsip yang saya masukkan sudah berkurang drastis, kini hanya menjadi 72 halaman. Saat presentasi, Yumi merasa bahwa dummy kedua ini terasa lebih baik, Meski begitu, menurutnya pada beberapa bagian masih terasa “melompat”. Terutama saat saya ingin masuk bagian akhir, di mana saya ingin menampilkan agensi para perempuan ini di berbagai ranah publik, namun tetap pada kungkungan definisi keperempuanan Orde Baru (kegiatan mengunjungi makam Kartini bersanding dengan mengunjungi Monumen Lubang Buaya). Bagi Yumi, saya perlu memberi konteks siapa sosok Kartini, intensi narasi tersebut tidak akan tertangkap pemirsa yang tidak familiar dengan sejarah Indonesia jika saya tidak memberi bridging dengan menampilkan sedikit informasi tentangnya.

Saya memutuskan untuk memasukkan arsip dari Api Kartini Edisi No. 4 Th. II, April 1960, berupa puisi “Kartini jang Remadja” karya N. Azhar dan versi lengkap lagu “Ibu Kartini”. Keduanya berasal dari era Orde lama, sangat progresif, dan dapat menjadi pembanding bagaimana di masa selanjutnya sosok Kartini (dan perempuan pada umumnya) “dirumahkan”. Beberapa susunan juga turut saya perbaiki, misalnya saya memutuskan untuk tidak menyandingkan foto kunjungan ke Monumen Lubang Buaya dan Makam Kartini, namun membuat keduanya menjadi semacam titik balik fase hidup para subjek foto yang terus-menerus ada di tegangan antara aktualisasi diri di tiap bidang lalu harus kembali/dikembalikan pada ranah domestik.

Untuk kover, Yumi memberi ide begitu melihat salah satu arsip dokumen yang menunjukkan sepasang suami istri, di mana bagian tanda tangan sang istri kosong, sementara tanda tangan sang suami begitu besar. Menurut Yumi, satu arsip ini dapat mewakili semua yang ada di dalam buku. 

Sementara judul proyek ini telah ditentukan sejak awal, yakni “Ny. Patri”. Nia yang menemukan judul itu. Ia berangkat dari kata “patri” yang kurang lebih berarti proses memanaskan dan meluluhkan timah untuk melekatkan, menyambung, atau menambal sesuatu. Namun, sepertinya judul itu tidak dapat dilepaskan pula dari kata “patriarki”, di mana Patri bisa juga menjadi nama orang, sementara patriarki barangkali adalah “pengalaman universal” yang dialami semua perempuan.

Satu jam sebelum presentasi akhir, saya telah menyelesaikan dummy final itu. Buku itu  saya jahit dengan punggung terbuka, buku sisipan kecil yang berisi hobi-hobi perempuan (yang kemudian dilepaskan oleh Yumi saat presentasi karena baginya foto-foto itu bisa digabungkan bersama foto-foto di buku besar) pun telah jadi. Saya menyempatkan diri berkeliling melihat peserta workshop yang lain yang masih sibuk, siapa tahu ada yang bisa saya bantu.

Saat presentasi akhir, banyak sekali yang datang. Meski sempat gugup, terbata-bata, dan kadang melupakan beberapa kosakata, saya merasa berhasil membawakan ide saya atas Ny. Patri. Bagi saya saat itu, Ny. Patri adalah teman baik yang mengajarkan saya banyak sekali hal, seperti apa yang saya bayangkan saat memutuskan untuk mengikuti workshop ini. Setelah itu, yang ada hanya lega. Workshop yang berlangsung selama tujuh hari, perasaan panik, khawatir, bersemangat, sedih, bangga, selesai sudah. Saya kemudian bertanya-tanya, sejauh mana proyek ini akan bergerak, sejauh mana dummy ini akan berjalan? Nyatanya ia telah sampai di banyak tempat lebih dulu, sebelum benar-benar terbit, melebihi apa yang saya dan Nia bayangkan.

Fitriana Hadi