Tentang mentoring dan menjadi mentor
Belum lama ini, saya menuntaskan amanat pengurus komunitas belajar fotografi Kelas Pagi Yogyakarta (KPY) untuk menjadi mentor dan mendampingi proses berkarya para peserta KPY Angkatan 9 di dalam menyiapkan pameran mereka. Proses mentoring bermula dengan pemaparan usulan karya oleh setiap peserta pada Oktober 2021 (ada sebelas orang yang mengajukan usulan karya) dan berlangsung hingga pameran angkatan digelar pada Januari 2022 (ada enam orang yang berhasil mewujudkan dan memamerkan karyanya). Saya mendampingi dua peserta—tadinya empat, tetapi dua orang lainnya mengundurkan diri di tengah perjalanan.
Sejak pertemuan pertama, saya menyampaikan kepada teman-teman yang saya dampingi, bahwa pendekatan saya di dalam mentoring bisa jadi akan “membingungkan”. Saya bukanlah jenis orang yang langsung memberi jawaban untuk setiap pertanyaan peserta. Saya justru akan membiarkan mereka mencari jalan sendiri, bahkan sampai “tersesat” terlebih dahulu, sebab pencarian itulah yang saya pandang penting di dalam proses belajar. Namun begitu, saya tidak bakal membiarkan mereka tersesat terlalu jauh. Saya akan berusaha menyediakan peta dan kompas sebagai petunjuk arah, sambil tetap terus mendorong mereka sampai menemukan jalan sendiri.
Tentu bisa dibayangkan, bahwa pendekatan ini akan memakan waktu dan menyimpan risiko gagal—yang dicari tidak ketemu. Kepada para peserta saya sampaikan, bahwa saya tidak menuntut hasil yang sempurna. Saya hanya meminta mereka berusaha sebaik-baiknya di dalam tempo yang tersedia. Saya pun berupaya menyediakan waktu untuk mendampingi mereka, walau saya malah jadi banyak menunggu, lantaran teman-teman merasa tidak perlu berkonsultasi jika belum membawa hasil. Padahal, justru peran dan fungsi utama saya sebagai mentor yaitu menemani pencarian mereka, bukan semata-mata menunggu dan mengomentari hasil.
Pendekatan mentoring macam yang saya lakukan itu punya tantangan besar soal mencari kesetimbangan—menunjukkan arah tetapi tidak mengarahkan; memberi ruang tetapi tidak mengurung. Saya mencoba berbagai cara di dalam sejumlah pengalaman menjadi mentor. Tidak ada sebuah cara yang dapat terus dipakai di dalam mendampingi orang atau proyek yang beragam. Setiap orang atau proyek punya watak yang berbeda, sehingga perlu pendekatan yang disesuaikan dengan kebutuhan masing-masing. Komunikasi menjadi kunci, khususnya terkait pemahaman terhadap proyek, baik oleh mentor maupun—terutama—oleh peserta sendiri.
***
Di dalam pengalaman mentoring saya yang terakhir dengan KPY tadi, ada seorang peserta yang semula saya kira sudah cukup memahami proyeknya. Proposal proyek yang dia presentasikan awalnya agak membuat para mentor bingung (karena dituliskan dan disampaikan dengan tidak baik), tetapi sesudah tanya jawab, kami rasa punya potensi. Saat dia kemudian mengunjungi saya untuk berkonsultasi, dia melontarkan suatu ungkapan sederhana, yang saya tangkap sebagai kalimat kunci tentang proyeknya. Akan tetapi, setelah itu dia justru menjadi seperti kehilangan arah. Proyeknya yang tadinya seperti tergambar jelas malah lantas seolah-olah kembali mentah.
Di dalam komunikasi kami selanjutnya, saya lebih banyak berusaha menjadi jangkar, agar dia tidak kelewat terombang-ambing. Pada satu titik, saya akhirnya mengingatkan dia tentang kalimat kunci yang pernah dia katakan sendiri. Menjelang akhir masa mentoring, mendekati tenggat persiapan pameran, barulah dia berterus terang, bahwa dia tidak nyaman dengan kalimat kunci tersebut, karena kalimat itu bukan hasil pemikirannya sendiri. Dia mengutip kalimat itu dari tanggapan seorang temannya saat dia menceritakan gagasan proyeknya. Saya lantas maklum, rupanya itu penyebab dia bingung dan ragu, padahal kalimat kuncinya sudah ada di tangan.
Sewaktu saya mendampingi pameran KPY angkatan sebelumnya pada 2019, ada seorang peserta yang memberi saya pelajaran tentang memaknai kegagalan sebagai suatu keberhasilan. Sejak awal mentoring, gagasan proyeknya berorientasi pada bentuk. Saya katakan kepadanya, sebagaimana saya sering sampaikan pula di dalam sejumlah kesempatan lain, bahwa bentuk menyesuaikan gagasan. Gagasannya perlu didalami terlebih dahulu, baru kemudian dicarikan bentuk yang sesuai agar gagasan itu tersampaikan. Pertemuan konsultasi selama mentoring lebih banyak dia habiskan untuk merasionalisasi pendapatnya guna mempertahankan bentuk karyanya.
Saya memutuskan untuk membiarkan dia mencoba. Bagaimanapun, itu karyanya, bukan karya saya. Tugas saya mendampingi proses dia berkarya dan belajar, bukan mengatur langkahnya, yang malah dapat membatasi daya ciptanya. Setelah karyanya jadi dan saat untuk memajangnya di ruang pamer tiba, dia kelihatan kurang bersemangat. Di dalam obrolan, dia mengaku kurang puas dengan hasil yang dia peroleh. Dia merasa karyanya terlalu dipaksakan. Dia sadari juga, itu karena sejak semula dia terlalu berorientasi pada bentuk. Karya itu mungkin telah gagal (sebab tidak sesuai maksud pembuatnya), tetapi proses belajarnya menurut saya berhasil.
***
Proses saya anggap penting, tetapi—walau tidak menuntut kesempurnaan—bukan berarti saya menyepelekan hasil. Hasil tetap perlu diupayakan, sebagai pantulan dari prosesnya. Proses tanpa hasil, apalagi tanpa direnungkan, akan menjadi sia-sia belaka. Pembelajaran yang bertumpu pada proses tidak mudah diukur, karena punya banyak peubah. Jika berhasil, faktor keberhasilannya sulit ditentukan; begitu pun sebaliknya, bila gagal, faktor yang perlu disesuaikan untuk memperbaikinya sukar pula dipastikan. Perlu dicatat juga, hasil tidak selalu dapat langsung dirasakan—seperti kopi tubruk, yang baru dapat dinikmati setelah bubuk kopi mengendap.
Di dalam hal karya yang gagal tadi, pengendapan itu baru terjadi pada akhir mentoring. Seperti saya sebut tadi, hasil tidak maksimal itu merupakan pantulan dari proses yang juga tidak optimal. Seperti saya ungkapkan pula, peubah di dalam prosesnya jamak: gagasan karya kurang didalami, waktunya kurang, ada sejumlah tantangan teknis selama produksi karya, si peserta belum punya pengalaman berkarya atau berpameran, dan dia tidak punya pijakan kuat sehingga sering bimbang setiap mendapat saran dari pihak berlainan. Sebagai salah satu faktor di dalam proses tersebut, saya pun perlu becermin, sebab bisa jadi pendampingan saya dan diri saya turut jadi soal.
Saya akan mengakui, bahwa pendekatan mentoring yang saya pilih tetap perlu disesuaikan dengan keadaan dan kebutuhan setiap peserta dan proyek yang mereka kerjakan. Tidak semua orang bisa berjalan sendiri berbekal peta dan kompas; ada yang perlu diajari cara memakainya terlebih dahulu, ada pula yang bahkan butuh dituntun mengikuti rute. Di dalam beberapa kesempatan mentoring yang lain, saya pun pernah ditinggal oleh peserta. Lagi-lagi, ada banyak faktor di dalam proses kami, tetapi saya jadi merasa itu gara-gara saya (atau setidaknya saya punya andil besar), karena mereka menghilang setelah kami berdiskusi alot soal progres proyek mereka.
Di dalam pendampingan, biasanya saya banyak bertanya. Kesannya seperti saya mengeyel untuk mementahkan gagasan peserta, padahal niat saya tidak begitu. Lewat pertanyaan-pertanyaan itu, saya mengajak mereka membuka wawasan dan menjelajahi kemungkinan-kemungkinan lain, agar mereka tidak lekas-lekas mengungkung diri sendiri lantaran merasa pendapat mereka sudah tepat. Bagi saya, pendampingan berpangkal dari gagasan peserta (apa yang mau diangkat, bagaimana gagasan itu akan diolah, mengapa cara itu yang ditempuh) dan berujung kembali ke gagasan itu lagi (apakah gagasan itu berhasil tersalurkan dengan baik lewat bentuk yang dipilih).
***
Dengan waktu pendek, pendekatan mentoring seperti demikian mungkin terasa buru-buru. Oleh sebab itu, di dalam lokakarya dengan durasi singkat (sekitar sepekan), saya tidak akan banyak bertanya di dalam konsultasi harian dan bakal menawarkan beberapa rambu yang sedikit mengarahkan, khususnya ketika peserta mulai agak melenceng dari jalurnya. Pendampingan rentang sedang (beberapa bulan) bisa lebih leluasa, dengan pertemuan setiap satu hingga dua pekan, walau tetap tidak banyak kesempatan untuk penjelajahan dan percobaan. Pada umumnya (walau tidak semua), mentoring singkat dan sedang cenderung berporos pada proyek atau karya.
Mentoring jangka panjang memungkinkan eksplorasi yang lebih longgar, kendati risiko tersesat bisa jadi meningkat. Peserta dapat kehilangan fokus lantaran terbawa arus. Saya mengalaminya ketika mendampingi seorang mahasiswa menyelesaikan proyek fotografi tugas akhir kuliahnya pada 2018–2019. Perhatian peserta beberapa kali terpecah dan teralihkan ke soal lain, karena dia kebanjiran data dan kewalahan memilahnya. Saya sempat kesulitan juga menjadi jangkar, sebab soal-soal yang memecah perhatiannya itu terkait erat dengan gagasan proyeknya, yang memang berlapis. Setelah pelan-pelan diendapkan, barulah lantas jelas, bahwa bukan itu fokusnya.
Baik rentang panjang, sedang, maupun pendek, prinsip pendampingan saya tidak berubah, bahwa pesertalah yang mesti memimpin, sedangkan mentor berlari di belakangnya. Akan tetapi, itu bukan berarti mentor semata-mata mengikuti secara pasif, melainkan juga menjadi pengaktif (enabler), dengan cara mendorong, menguatkan, dan menyeimbangkan (tut wuri handayani). Tidak kalah penting, mentor berperan membangun semangat peserta (ing madya mangun karsa), bukan menghancurkannya. Terkadang saya pun memberi contoh (ing ngarsa sung tuladha), tetapi saya coba berhati-hati, agar peserta bukan sekadar menirukannya, melainkan sungguh memahaminya.
Saya memandang mentoring dengan sedikit berkaca pada nyantrik, yaitu belajar sambil praktik langsung di bawah bimbingan orang yang punya pemahaman dan pengalaman di bidangnya, dengan menyerap tidak hanya pengetahuan teknis, namun juga segi-segi lain yang bersentuhan dengan ilmu yang dipelajari. Di dalam pengertian ini, mentoring yang rentangnya cukup panjang lebih memungkinkan terjadinya pembelajaran yang cenderung lebih menyeluruh, baik dengan berporos pada proyek atau karya (seperti kebanyakan mentoring singkat dan sedang) maupun pada pemahaman yang lebih umum tentang suatu ilmu atau bidang (di dalam hal ini fotografi).
***
Yang saya uraikan di sini hanya salah satu pendekatan di dalam mentoring, itu pun tetap perlu disesuaikan dengan kebutuhan para peserta yang berlain-lainan. Catatan ini merupakan beberapa hal yang saya pelajari dari berbagai kesempatan menjadi mentor, asisten mentor, peserta, juga pengamat (turut hadir tetapi tidak terlibat). Ada beragam pendekatan mentoring yang lainnya; saya rasa tidak ada satu pendekatan yang sempurna dan dapat memenuhi keperluan yang berbeda-beda. Di dalam mentoring persiapan pameran angkatan KPY pun teman-teman mentor yang lainnya punya cara sendiri-sendiri di dalam mendampingi para peserta.
Selama mentoring berlangsung, ada sejumlah lubang di sana-sini, termasuk hal-hal di luar soal mentoringnya sendiri. Syukurlah, sebagai sebuah komunitas, KPY punya modal sosial yang memungkinkan orang-orang yang terlibat untuk saling menambal. Ada satu peserta pameran angkatan sebelumnya, yang saya dampingi pada 2019, kini sama-sama menjadi mentor. Pengurus KPY dan teman-teman tidak enggan membantu para peserta, yang tidak satu pun pernah berpameran foto, meski sudah cukup lama memfoto. Pertemanan yang telah terjalin di antara mentor dan pengurus juga mampu menjembatani persoalan komunikasi yang kurang lancar.
Pengurus KPY menjadwalkan beberapa pertemuan presentasi kelompok, yaitu pada awal, pertengahan, dan menjelang akhir masa mentoring. Para pengurus, mentor, dan peserta bisa saling mengetahui kemajuan dan hambatan satu sama lain. Para senior dan alumni KPY yang tidak terlibat mentoring dapat mengikuti forum tersebut, juga menyampaikan komentar dan saran tentang karya peserta. Pertemuan kelompok ini membantu mengatasi konsultasi yang kurang lancar antara peserta dengan mentor. Sebagai mentor, saya pun bisa mendapatkan perspektif lain di dalam memandang dan memahami proyek yang dikerjakan peserta.
Menjelang penghujung masa pendampingan pameran angkatan KPY, seusai mengikuti sebuah pertemuan dengan para peserta, saya sedikit merenungkan proses yang telah berlangsung sejak beberapa bulan sebelumnya itu. Saya bertanya kepada diri sendiri, dengan segala pasang surut ini, apakah saya sudah menyokong proses belajar mereka dengan memberikan bekal yang cukup, atau justru membebani mereka dengan menuntut berlebihan. Buat saya, subjek utama mentoring yaitu peserta—juga karyanya, jika pendampingan itu bersumbu pada proyek. Mentor juga belajar dari prosesnya, bukan malah melihatnya sebagai ajang unjuk gigi untuk membusungkan dada.
Yogyakarta, Februari 2022
Budi N.D. Dharmawan tinggal dan bekerja di Yogyakarta. Budi mengerjakan banyak hal, di antaranya meneliti, memfoto, menulis, menyunting, mengkurasi, juga menjadi pembicara dan mentor. Budi senang mengamati berbagai soal, terutama fotografi, jurnalisme, seni, sejarah, dan pendidikan.