Apakah fotografi sendiri (tidak) cukup?
Sependek pengetahuan saya, yang terbatas ini, fotografi tidak diciptakan dengan fungsi atau tujuan tertentu yang dilekatkan sejak semula. Bagi khalayak awam, fotografi masa awal sempat menjadi tontonan yang ajaib (seperti listrik, sebelum digunakan sebagai sumber energi yang penting seperti sekarang). Sebuah permukaan yang dilapisi suatu cairan dapat menghasilkan gambar setelah disinari beberapa lama. Fotografi merupakan medium yang dapat merekam gambaran dunia secara serupa aslinya dan seketika, khususnya dibandingkan dengan lukisan, yang sudah lebih dahulu ada. Akan tetapi, untuk apa dan bagaimana—inilah yang menjadi soal kita.
Fotografi lazim dibandingkan dengan lukisan, sebab sama-sama dwimatra, walau punya sejumlah perbedaan. Perbandingan begini kerap membuat perhatian kita terlalu tertuju kepada pemisahan fotografi, antara sebagai medium rekam dengan sebagai medium seni—padahal fotografi bisa menjadi keduanya, atau juga hal lain, sesuai konteksnya. Fotografi menampilkan suatu kenyataan sekaligus menunjukkan sebuah kenyataan yang lain; tampak apa adanya sekaligus terasa dibuat-buat. Seturut perkembangannya, fotografi pun dapat dipakai untuk beragam keperluan, dari dokumen, arsip, propaganda, seni, niaga, pengawasan, sampai pertukaran pesan sehari-hari.
Pada tataran yang lain, fotografi juga cenderung dilihat secara terpisah antara sebagai praktik yang teknis dengan sebagai wacana yang teoretis. Hal ini bisa pula dipertanyakan, bagaimana kita dapat memisahkan keduanya, ketika praktik dan wacana sesungguhnya sinambung sebagai suatu daur. Fotografi sebagai sebuah disiplin tidak bebas dari ilmu-ilmu lain, maupun dari gejala sosial yang berlangsung di sekelilingnya. Mengikuti perkembangan dan penggunaan fotografi, orang berupaya memahaminya dengan meminjam beraneka kerangka dan pendekatan keilmuan, seperti sejarah, seni rupa, bahasa, media, budaya, sosiologi, antropologi, psikologi, geografi, dan lain-lain.
Fotografi seperti bergantung pada pengetahuan-pengetahuan lain, sehingga sering dikritik. Di dalam membahas fotografi, tidak jarang orang terlampau menaruh perhatian pada sejarah dan perkembangannya. Sejarah fotografi pun kerap dipaparkan sebagai pergeseran teknologi, atau dilihat melalui kacamata antropologi atau dengan bingkai sejarah seni. Ulasan mengenai seorang juru foto sering berfokus pada riwayat dan kurang melirik penjelajahan kreatifnya. Perbincangan tentang pemakaian fotografi sehari-hari cenderung merujuk jurnalisme, media, atau gaya hidup. Fotografi seakan-akan tidak (di-) hadir (-kan) di dalam percakapan-percakapan tentang fotografi.
Saya ingat, ketika mengobrol bersama beberapa orang tiga tahun lalu, kurator M. Firman Ichsan berujar, “Apakah fotografi saja tidak cukup?” Di dalam sejumlah pameran foto, orang senang memakai gimik berlebihan, yang justru menyelubungi kekuatan karya foto. Beberapa kurator suka mengutip teori macam-macam, tetapi malah luput mengupas soal fotografi. Tentu saja, kita perlu bekal pengetahuan lain untuk membicarakan fotografi, tetapi tidak lantas mengabaikan ihwal fotografi itu sendiri. Sebuah foto bukan saja menyuratkan, melainkan juga menyiratkan; bukan hanya citra, melainkan juga benda; bukan cuma hasilnya, melainkan juga proses penciptaannya.
Proses terjadinya sebuah foto memang cenderung tidak dibahas di dalam pemanfaatan fotografi sehari-hari. Sejak adanya Kodak, pengguna awam tidak lagi dipusingkan dengan teknik. Sekarang pun, masyarakat tinggal mengaktifkan kamera pada gawai, membidik, dan mengetuk tombol rekam. Akan tetapi, orang yang mengerti teknik fotografi akan tahu, misalnya, bahwa foto yang diambil memakai bukaan f/4 tidak sama dengan bukaan f/16. Perbedaan cara memfoto dapat menghasilkan foto dengan rasa dan makna berbeda, walau subjeknya sama. Teknik fotografi pada dasarnya merupakan bagian dari bahasa khas fotografi, yang tidak dimiliki oleh medium lainnya.
Demikianlah, segi teknis tetap perlu disentuh di dalam pembacaan suatu foto, juga di dalam obrolan fotografi secara umum, namun sebaiknya didudukkan sesuai porsinya. Bagaimanapun, sebagian besar foto dibuat oleh khalayak awam, yang memfoto tanpa terlalu menghiraukan teknik yang sempurna atau maksud yang mendalam—tetapi bukan berarti mereka memfoto tanpa tujuan. Ulasan teknis perlu diimbangi tinjauan segi-segi lainnya, seperti bagaimana foto itu bekerja memenuhi tujuannya, bagaimana foto itu dipakai untuk berkomunikasi, bagaimana foto itu dan dunia di dalamnya hela-menghela dengan kenyataan di luarnya, juga lain sebagainya.
Yang perlu diperhatikan yaitu meletakkan fotografi bersama ragam pengetahuan lain itu secara berimbang, relevan, dan kontekstual. Teknologi fotografi dan pencitraan telah berkembang pesat (misalnya, sejak dasawarsa lalu, peneliti sudah dapat merekam gambar suatu benda yang berada tidak di hadapan kamera dengan fotografi komputasi), sehingga kita perlu pula memperbarui cara kita memandang fotografi, tanpa melupakan sejarahnya. Cara pandang terhadap fotografi ini, di samping erat dengan bagaimana fotografi dipraktikkan dan dipergunakan sehari-hari, tentu juga tidak lepas dari bagaimana fotografi diajarkan dan dipelajari sebagai sebuah disiplin.
Di dalam sebuah esai, profesor Michelle Bogre mengatakan, bahwa masalah dunia pendidikan fotografi—setidaknya di Amerika Serikat—sebetulnya akibat perbuatan para pendidik sendiri. Mereka tidak dapat menyepakati apa itu fotografi, sehingga mereka pun tidak bisa tegas soal apa yang mereka ajarkan, seni ataukah kejuruan. Pada saat yang sama, mengadu fotografi sebagai keterampilan atau seni sesungguhnya menyesatkan, sebab teori dan konsep sama pentingnya dengan kreativitas dan teknik. Salah kaprah seperti demikian membuat kita lalai melihat fotografi di dalam kerangka budaya visual: belajar fotografi merupakan belajar keberaksaraan visual.
Belum lama ini, kritikus Jörg M. Colberg berpendapat, betapa fotografi seperti begitu rendah diri, lantaran banyak pelakunya masih terjerat di dalam anggapan, bahwa agar menjadi seni, fotografi perlu (di-) tampil (-kan) seperti seni. Simpulan itu dia dasarkan pada amatannya selama dia mengajar fotografi, bahwa kebanyakan mahasiswanya membuat foto dengan niat menciptakan karya seni, seolah-olah fotografi sendiri bukan seni. Fotografi merupakan suatu bentuk seni (ini sudah tidak perlu dipersoalkan lagi), tetapi memandangnya sebagai seni saja sebetulnya amat memiskinkan, mengingat pemakaian fotografi demikian luas dan seni hanyalah sebagian kecilnya.
Belakangan, memang telah ada sejumlah upaya untuk memperluas perbincangan fotografi, agar mencakup segi-segi di luar arus utama (khususnya seni). Walakin, prakarsa tersebut terkadang malah terasa seperti berusaha mengarusutamakan percakapan yang dianggap “pinggiran” (menyenikan yang nonseni). Alih-alih “dicaplok” menjadi seni, praktik fotografi nonseni perlu dikupas sebagai dirinya sendiri, di tengah konteksnya sendiri. Umpamanya saja, penghadiran foto sejarah dan arsip di dalam sejumlah praktik seni dan fotografi perlu mula-mula menaruh foto sejarah dan arsip itu pada konteksnya, sebelum kemudian meletakkannya pada konteks baru.
Kendati berpeluang memperkaya pembicaraan, praktik dekontekstualisasi dan rekontekstualisasi juga menyimpan risiko memburamkan makna. Jangan lupa pula, bahwa melihat masa lalu dengan kacamata masa kini bagaimanapun sudah mengandung bias. Oleh karena itu, penafsiran dengan cara apa pun perlu dilakukan dengan berhati-hati dan mawas diri. Pada abad visual ini, kita makin tenggelam dibanjiri citra sehingga tidak sempat memikirkan soal citra dan soal cara kita melihat. Padahal, menurut profesor Alexis Boylan di dalam pengantar bukunya, budaya visual bukan saja penting, melainkan segi yang paling penting untuk dikuasai di dalam kehidupan kiwari.
Yogyakarta, Mei 2022
Budi N.D. Dharmawan tinggal dan bekerja di Yogyakarta. Budi mengerjakan banyak hal, di antaranya meneliti, memfoto, menulis, menyunting, mengkurasi, juga menjadi pembicara dan mentor. Budi senang mengamati berbagai soal, terutama fotografi, jurnalisme, seni, sejarah, dan pendidikan.