Dari Lapak ke Lapak

Prasetya Yudha

Sudah bukan rahasia lagi jika lapak-melapak menjadi hal penting dalam kegiatan penerbitan mandiri. Terutama jika menyangkut isu keberlanjutan. Berapa banyak inisiatif dan terbitan baru lahir dari ajakan terbuka untuk melapak di suatu acara macam zine fest, art book fair, pameran, bazar, gigs, dan kegiatan-kegiatan terkait budaya tandingan? 

Lapak-melapak adalah istilah kegiatan yang lazim diutarakan para pegiat penerbitan mandiri ketika mempresentasikan hasil terbitannya ke publik. Saya sebut mempresentasikan karena bagi saya kegiatan ini tidak melulu bertujuan perniagaan semata. Lapak-melapak juga bisa bertujuan untuk menjalin interaksi sosial. Bagaimana sebuah terbitan dapat membangun peristiwa sosial dalam menghubungkan satu orang dengan orang yang lain atau satu komunitas dengan komunitas lain, adalah suatu nilai yang menarik untuk dilihat dan dikedepankan. Alih-alih sekadar mendorong terbitan mandiri sebagai produk niaga yang bisa dikapitalkan. 

Terbitan mandiri memiliki semangat sebagai medium presentasi yang demokratis. Siapa saja dapat menuangkan gagasannya ke dalam publikasi cetak bikinannya sendiri, baik secara individu maupun kolektif. Tidak dibutuhkan validasi dari “pihak berwenang”. Sebuah terbitan yang standar kaidahnya ditentukan sendiri. Do It Yourself atau Do It Together ialah etos kerja yang dijunjung demi memeluk segala keterbatasan yang ada.

Meskipun banyak pihak bilang kalau tidak ada uang dalam terbitan mandiri, orang-orang toh tetap coba bikin, sebar, bikin lagi, sebar, bikin yang baru lagi. Meskipun penyebarannya dalam skala kecil tidak jadi soal. Kiranya yang menjadi motif adalah kehendak untuk terlibat dalam suatu “percakapan”. Dan sebagai motif, kehendak inilah yang paling saya rasakan ketika mengikuti acara lapak-melapak yang terhubung dengan pendistribusian karya-karya terbitan mandiri.

Dalam tulisan ini, saya ingin berbagi catatan amatan dari perjalanan lapak-melapak yang saya alami. Bagaimana akumulasi amatan tersebut memengaruhi cara pandang saya terhadap isu keberlanjutan penerbitan mandiri dan memberi pijakan kepada saya sebagai pengarah program bersama Syafiatudina di Yogyakarta Art Book Fair 2024: Pilot Edition. 

Sebagai salah satu pegiat dan pemerhati penerbitan mandiri yang mulai berkecimpung secara intens pada medio 2017, saya tentu akan memulai catatan amatan ini dari kurun waktu tersebut.

* * *

CATATAN 1

Tampak ruang pamer acara Awor Photobook Fair (2017) bertempat di AWOR Gallery & Coffee Yogyakarta. Dokumentasi Alief Akbar

Awor Photobook Fair diselenggarakan di AWOR Gallery & Coffee Yogyakarta pada 18-24 Mei 2017. Acara berformat pameran buku foto ini diinisiasi oleh Moh. A. Ulul Albab dan Alief Akbar. Ini terjadi sewaktu keduanya masih kerja sambilan sebagai pengurus program untuk aktivasi galeri AWOR. Albab dan Alief, yang kala itu masih aktif kuliah di Jurusan Fotografi ISI Yogyakarta, membuat undangan terbuka kepada siapa saja yang mau memamerkan buku atau zine fotonya.

Dari undangan itu ada banyak nama yang saya ikuti dan kenali terbitan-terbitannya, tapi baru pertama kali saya pegang dan baca secara utuh karyanya. Dari terbitan institusi macam Galeri Foto Jurnalistik Antara dan PannaFoto, penerbit kawakan macam Afterhours Books dan R&W Publishing, penerbit independen arus baru macam Gueari Galeri dan Kamboja Press, sampai kolektif yang tertarik mengeksplorasi media cetak macam RAReditions dan Flock Project ikut serta. Saya sendiri mengikutsertakan percobaan karya zine foto-teks.

Acara ini memberi kesempatan bagi saya mempresentasikan zine buatan sendiri untuk pertama kali. Bagi saya, acara ini berhasil menyediakan ruang bagi siapa saja, khususnya yang memiliki keterbatasan modal, untuk mengakses terbitan-terbitan yang skala persebarannya masih terbatas. Selain itu, acara ini berhasil menjadi platform pembelajaran yang baik terhadap bentuk dan konten publikasi foto. Sekaligus di saat yang sama mendukung penyebaran ide di ruang lingkup komunitas fotografi yang sedang tumbuh minatnya terhadap penerbitan mandiri. SOKONG!—platform penerbitan terkait fotografi yang saya kelola sejak awal 2018 bersama Albab, Kurnia Yaumil Fajar, Deni Fidinillah, dan Danysswara, inisiatifnya lahir setelah mengikuti acara ini [1].

CATATAN 2

Potret Reza Kutjh bersama Doni Singadikrama dalam rangkaian acara pameran Pretext: A Ploy from Being and Nothingness, 2018. Arsip foto Doni Singadikrama.

Doni Singadikrama dalam rangkaian acara pameran bersama Djafar Revangga, “pretext: A PLOY FROM BEING AND NOTHINGNESS”, mengundang teman-teman yang berkecimpung di skena penerbitan mandiri Yogyakarta untuk membuka lapak di ViaVia Jogja pada 10-11 Februari 2018. SOKONG!—yang baru lahir pada 28 Januari 2018—lewat publikasi digital pertamanya [2], diundang untuk ikut serta.

Anak-anak SOKONG! terkesan gagap menyambut undangan tersebut. Kegagapan ini didasari oleh dua hal. Pertama, terbitan SOKONG! berformat digital dan baru ada satu terbitan. Kedua, SOKONG! belum pernah mengalami kegiatan lapak-melapak. Singkat cerita, undangan tersebut disanggupi. 10 eksemplar publikasi digital pertama dicetak bersandar iuran. SOKONG! enggan membayangkan harus bilang, “Silakan scan QR Code buat membaca terbitan kami”, kepada setiap pengunjung yang mampir.

Biar meja tidak sepi-sepi amat, anggota SOKONG! juga membawa terbitan personal yang sudah dan baru dibuat. Momen ini seperti jadi momen “aqiqah” buat SOKONG! sebagai suatu inisiatif penerbitan mandiri di Yogyakarta. Dari acara lapak tersebut, SOKONG! menyadari arti penting inisiatif yang “dilembagakan” [3]. Dari acara tersebut, SOKONG! sadar bahwa peran Doni sebagai semacam produser kebudayaan turut mendorong inisiatif-inisiatif baru punya kesempatan untuk muncul dan tumbuh.

Dari acara tersebut, SOKONG! sadar bahwa publikasi cetak, dalam skala kecil pun, memberi kesempatan bagi mereka berinteraksi antarkomunitas. Dari acara tersebut, SOKONG! akhirnya bertatap muka dan berkenalan langsung dengan beberapa kelompok anak muda yang memiliki gerakan penerbitan mandiri. Seperti Barasub, Piring Tirbing, Kamboja Press, Demi Sesuap Nasi, Blurg!, Ruang Gulma, Puisi Seketika, untuk menyebut beberapa nama. Pengalaman lapak pertama ini mencetuskan pemikiran bahwa sebuah publikasi cetak memiliki potensi untuk membangun peristiwanya sendiri. 

CATATAN 3

Arsip foto @sokong_publish

11 Maret 2018, di area parkir Fakultas Seni Media Rekam (FSMR) ISI Yogyakarta, SOKONG! berpartisipasi dalam Babad Alas, sebuah acara yang diinisiasi oleh teman-teman FSMR yang baru wisuda. Acara yang berformat party ini biasa mengundang musisi-musisi lintas fakultas dan kabupaten. Sepertinya, ini pertama kalinya mereka mengajak pihak lain membuka lapak untuk turut memeriahkan acara selebrasi tersebut. Piring Tirbing, Berkaca Kata, Jaang, Joon Burger, dan Komunal juga ikut membuka lapak.

Sebuah tantangan memang mempromosikan terbitan mandiri di tengah acara gigs dengan irama kampus Sewon. Di antara orang-orang yang sempoyongan kebanyakan minum ciu atau anggur Orang Tua, SOKONG! memanfaatkan momen ini untuk merilis terbitan publikasi digital kedua [4]—yang dicetak 5 eksemplar. Tidak hanya itu, khusus momen tersebut SOKONG! “menerbitkan” Nasi Sunshine, sebuah rice bowl buah karya Kurnia Yaumil Fajar, yang biasa dipanggil Nia. Nasi Sunshine laris keras.

Di tengah acara tersebut, SOKONG! turut mendistribusikan tuak bikinan seorang teman. 10% dari setiap tuak yang terjual menjadi komisi bagi SOKONG!. Momen ini adalah pengalaman titip jual pertama. Sebelum acara berakhir, tuak sudah sold out! Profit dari penjualan rice bowl dan komisi tuak berhasil menutup biaya ongkos cetak 5 eksemplar. SOKONG! merasa beruntung karena orang-orang masih menyempatkan untuk mengobrol dan membaca lebih dahulu sebelum membeli tuak dan rice bowl. Apakah ini yang disebut dalam pendistribusian terbitan mandiri perlu adanya kontekstualisasi dan pertimbangan segmentasi? 

CATATAN 4

Arsip foto @sokong_publish

Pada pergantian tahun 2019, saya dan Priyambodo Yusuf atau biasa disapa Ucup sepakat untuk menerbitkan Hanya Ini yang Tersisa—catatan harian visualnya saat menjadi relawan gempa Lombok. Saya mengajukan diri untuk jadi editor, desainer, sekaligus penerbit. Terbitan berformat zine foto ini menjadi publikasi cetak pertama SOKONG!. Di tengah masa pengerjaan, tiba-tiba dan lagi-lagi, Doni Singadikrama mengabari akan diadakannya sebuah acara yang formatnya peluncuran zine bersama.

Di periode yang sama, Doni, Sanjonas (RAReditions), Reza Kutjh (Barasub) dan beberapa pegiat penerbitan mandiri di Yogyakarta lainnya ternyata sedang mempersiapkan sebuah acara bernama YK Zine Fest 2019 [5]. Acara peluncuran zine bersama ini dimaksudkan menjadi pra-event festival tersebut. Acara peluncuran yang bertempat di Journey Coffee & Records pada 30 Januari 2019 itu mengajak siapa pun untuk ikut peluncuran zine. Melalui pesan WhatsApp, saya mendaftarkan zine karya Ucup yang sedang digarap untuk ikut serta. Ini menjadi pengalaman perdana untuk launching zine cetak bersama.

Selain Hanya Ini yang Tersisa, zine yang juga diluncurkan adalah: Living Less Waste (Maria Uthe), Mama, I Wanna Go Surfing Vol.1 (Aditya Adam), Deformed Digital (Tanaya Sompit), AANWIJZING (Teman-Teman Arsitektur), Asal Kelihatan Boleh Dibicarakan #1 (@asalkelihatan), Marriage of Sofa and Beard: Between Graphic Design and Techno (Sanjonas). Doni Singadikrama & Sanjonas, lewat YK Zine Fest, juga turut meluncurkan zine berjudul MEGAZINE #1: An Anthology of Zine Event Forewords [6]. Acara ini, bagi saya, selain jadi momen berkomunitas, juga jadi katalisator untuk munculnya inisiatif dan terbitan-terbitan mandiri baru secara serentak. Publik juga jadi punya platform untuk bertemu dan mengakses terbitan-terbitan mandiri termutakhir.

CATATAN 5

Arsip foto @sokong_publish

Lowlight Bazaar terkenal sebagai bazar terkait fotografi analog. Acara yang diorganisasi oleh Jellyplayground ini pada edisi ke-14 menjalin kerja sama dengan Kelas Pagi. Wahyu Gunawan atau biasa dipanggil Gunzki, yang saat itu masih berposisi sebagai “pejabat” Kelas Pagi Jakarta, mengajak SOKONG! untuk menjadi salah satu peserta mini book fair bersama Gueari Galeri, Red Raws Center, dan Unobtainium Photobooks. Gunzki juga menyarankan untuk mengajak inisiatif lain yang sedang aktif menerbitkan publikasi foto di Yogyakarta.

SOKONG!—setelah berkomunikasi dengan Daud Sihombing (Kamboja Press), Alwan Brilian (Proyek Resonansi), Kurniadi Widodo (Flock Project)—kemudian bersepakat sharing table untuk mengikuti acara yang berlangsung pada 13-14 April 2019 di AD Premier Ballroom, Jakarta Selatan itu. Ini adalah pengalaman pertama saya dan Nia mewakili SOKONG! melapak di luar kota. Pertama kalinya kami terlibat sharing table dan keikutsertaan berbayar. Pertama kalinya juga kami bertindak sebagai agen yang mendistribusikan karya terbitan teman-teman. Di dalam acara ini, saya melihat dan belajar bagaimana peran komunitas fotografi analog di Jakarta menciptakan pasarnya sendiri. Pasar yang tentu tidak bisa lepas dari kultur kota itu sendiri. Kota yang melihat apa pun berpotensi jadi komoditi.

CATATAN 6

Arsip foto Prasetya Yudha

Setelah YK Zine Fest tidak jadi digelar, akun Instagramnya berubah menjadi YK Zine Club [7]. Reza Kutjh, “kuncen” alias juru kunci akun tersebut, pada suatu hari mengajak saya menemaninya berpartisipasi melapak di Subzine Fest. Dalam acara yang digelar pada 20 Agustus 2022 di Food Lokal, Surabaya, kami berdua membawa bendera YK Zine Club. Artinya, kami membawa terbitan zine karya teman-teman dari Yogyakarta. Kami berperan sebagai distributor zine. Dari zine-zine yang kami bawa, zine komik jadi primadona. Sejumlah 21 zine komik terbitan Demi Sesuap Nasi terjual. Sedang 7 stok zine komik dari Barasub habis terjual.

Ada seorang pembeli, yang sepertinya kolektor komik, memborong semua judul zine komik di lapak kami. Di dalam dekapannya terlihat terbitan-terbitan komik dari pelapak lain. “Apakah fenomena ini menandakan suatu kota memiliki ketertarikan terhadap suatu format media spesifiknya sendiri?”, tanya saya kepada Kutjh—yang juga seorang pegiat komik. “Komik di Surabaya tampaknya punya posisi yang khusus,” jawabnya. Untuk mengonfirmasi jawaban Kutjh, ada baiknya suatu hari nanti saya bertanya langsung kepada penggerak acara Subzine Fest: dear Abraham… 

CATATAN 7

Arsip foto @jipfest

Jakarta International Photo Festival (JIPFest) pada 2022 menghadirkan program Indonesia Photo Fair. Bursa photo print & buku foto ini bersifat terbuka dan bisa diikuti oleh segenap seniman foto juga penerbit. Bursa ini berlangsung pada 9-25 September 2022 di Soup n Film, Jakarta Selatan. Setelah dua kali penyelenggaraan, pada 2019 dan 2021, tahun 2022 adalah kali pertama JIPFest menghadirkan platform pemasaran karya dan buku foto.

Sebelumnya di skena fotografi, belum pernah ada platform pemasaran dengan skala festival semacam ini. Sebuah platform berformat pameran yang tujuan awalnya murni perniagaan. Platform seperti ini membuat penerbit-penerbit mandiri jadi punya harapan untuk menjangkau calon pembaca yang lebih luas. Selain, tentu saja, jadi termotivasi untuk membuat terbitan-terbitan baru. Laku tidaknya terbitan, belum jadi soal. Adanya sebuah platform pemasaran yang berkesinambungan yang diutamakan. Saya memandang ke depan, jika terus berlanjut, platform pemasaran skala festival seperti ini secara tidak langsung akan memberi dampak yang cukup besar terhadap perkembangan buku foto di Indonesia. 

CATATAN 8

Arsip foto @jakartaartbookfair

Pada 30 September-2 Oktober 2022, Jakarta Art Book Fair (JKTABF) akhirnya diselenggarakan. Bertempat di Creative Hall M Bloc Space, Jakarta Selatan, JKTABF edisi pertama ini diikuti oleh 41 peserta pameran. Saya dan Nia turut berpartisipasi mewakili SOKONG!. Siapa yang mau melewatkan pengalaman mengikuti art book fair pertama di Indonesia? Kami rela mengeluarkan biaya partisipasi sebesar Rp1.750.000,- untuk merasakan pengalaman pertama tersebut. Terlebih lagi, kami belum pernah ikut art book fair di Singapura, Bangkok, atau Kuala Lumpur, untuk menyebut beberapa yang terdekat.

Bagi penerbit skala kecil seperti kami, mendistribusikan terbitan yang jumlah judulnya masih sedikit sampai ke luar negeri tentu tidak masuk akal. Kalau ada art book fair di dalam negeri, tentu kesempatan ini tidak boleh dilewatkan. Selama ini kami mengikuti cerita-cerita art book fair hanya melalui media sosial. Dari sana kami melihat keragaman model bentuk dan konten yang didistribusikan oleh para penerbit mandiri. Dari sana kami juga melihat bagaimana art book fair menjadi platform yang ideal untuk mendistribusikan terbitan mandiri secara masif. Terutama karena potensi untuk bertemu dengan calon pembaca yang memiliki keragaman latar belakang dan disiplin.

Kami juga melihat art book fair menjadi platform yang baik untuk berjejaring lintas disiplin. Selama tiga hari melapak di JKTABF, jumlah terbitan yang berhasil kami distribusikan jauh melebihi ekspektasi. Bahkan, ketika kami membuka crowdfunding untuk proyek buku foto yang sedang digarap, banyak yang turut menyumbang sebagai bentuk dukungan. Ada benarnya kata seorang teman yang pernah beberapa kali ikut acara serupa di luar negeri, “Art Book Fair bagi kami sudah kayak lebaran. Makanya semua terbitan kami bawa. Se-lemarinya.” Mungkin memang karena berniaga di Jakarta Selatan saja, hingga lemari sampai perlu dibawa. 🙂

CATATAN 9

Arsip foto @b00k__w0rm

Di tanah air, art book sebagai suatu istilah bisa dibilang belum populer. Di kalangan perbukuan pun istilah ini masih asing. Istilah terbitan mandiri, independen, atau alternatif lebih umum dikenal. Meskipun art book sendiri secara karakteristik mencakup semua hal yang lazim dikenal itu. Jika ada yang menonjol, itu adalah pendekatan artistik—dari pemilihan material kertas, desain, teknik cetak, sampai penjilidan—yang biasanya bertujuan memperkuat gagasan konten sekaligus menawarkan pengalaman membaca yang berbeda. Tidak bisa dibantah, perhelatan JKTABF yang pertama tahun 2022 menjadi katalis bagi teman-teman penerbitan mandiri, yang bergerak di ruang lingkup art book, untuk terus bersemangat dan menggemakan semangatnya.

Belum genap setahun setelah JKTABF, di Yogyakarta, ada sebuah acara bernama Bookworm. Acara berformat pop-up art book & print store ini diinisiasi dan dikurasi oleh Kamboja Press dan Srisasanti Gallery. Acara ini berlangsung 10 April-14 Mei 2023 di Tirtodipuran Link, Yogyakarta. Buat kami, menghadiri dan berpartisipasi di acara yang memajang 59 judul buku dan 49 art prints dari 31 partisipan, baik dari dalam maupun luar negeri ini rasanya seperti studi banding. Ada pertukaran budaya cetak yang berlangsung. Interaksi budaya di sini dimediasi oleh kehadiran fisik buku dan karya cetak yang dipajang. Itu saja sudah cukup untuk bertukar energi, informasi, dan referensi. Galeri white cube yang dingin tidak mengurangi intimacy.

CATATAN 10

Arsip foto @bungazinefest

Ketika Bunga Zine Fest membuat panggilan terbuka bagi para zinester, saya menyambut dengan gembira. Sudah lama saya mengikuti Kongsi 8, sebuah ruang yang jadi toko, studio komunal, sekaligus kantin di tengah pasar loak Jatinegara, Jakarta Timur. Bunga Zine Fest adalah perayaan zine di Kongsi 8 yang berikhtiar menawarkan ruang yang lebih inklusif kepada pembuat dan pembaca zine. Bunga Zine Fest pertama berlangsung pada 28-30 Juli 2023. Ketika membaca slide poster panggilan terbuka di Instagram, ada catatan bahwa acara ini memprioritaskan pembuat zine dari puan, queer, dan non binary.

Saya dan Nia ingin sekali SOKONG! bisa berpartisipasi dalam acara tersebut. Tidak berselang lama, Hai Rembulan, inisiator Bunga Zine Fest mengajak SOKONG! via Nia untuk berpartisipasi. Tanpa perlu berpikir panjang, kami berangkatlah sudah. Dari beberapa pengalaman berpartisipasi di acara-acara komunitas maupun komersial terkait penerbitan mandiri, saya belum pernah mengalami guncangan emosional sebaik, sedalam, dan sealami seperti yang dirasakan setelah mengikuti Bunga Zine Fest. Guncangan emosional yang sangat menyehatkan.

Tiga hari berpartisipasi di Bunga Zine Fest, saya jadi memikirkan banyak hal, khususnya terkait menjadi berdaya dan memberdayakan. Waktu mendapat ruang untuk berdiskusi tentang ‘Serba-serbi Zine Foto’ bersama Alia Ruray dan Rangga Kuzuma, kami membahas platform penerbitan mandiri sebagai ruang inklusif. Ruang yang mungkin bisa diperiksa dari kesadaran-keputusan yang ditempuh dalam proses kerja kreatif. Apakah mungkin platform penerbitan bisa menjalankan perannya sebagai pendengar yang penuh empati, alih-alih mengambil posisi jadi si paling serba ngerti

CATATAN 11

Arsip foto @bandungzinefest

Saya menatap Bandung sebagai kota ribuan inisiatif. Anak-anak mudanya seperti punya spirit untuk membuat, menjalankan, dan mengembangkan sesuatu terus-menerus. Seperti tidak kenal kata lelah. Gerakan akar rumput di kota ini juga begitu kuat. Gerakan yang menyublim di berbagai bidang, tidak hanya yang bersentuhan dengan politik dan ekonomi, tapi juga sosial. Gerakan sosial lewat literasi pun berjalan, seperti Perpustakaan Jalanan. Inisiatif yang memulai gerakannya sejak 2009 ini melihat buku bukan sekadar sebagai buku. Namun, sebagai cara komunikasi yang lebih luas dan menggerakkan isu sosial seperti soal lingkungan, lahan, penggusuran, pabrik, dan pertarungan budaya [8].

Minat saya terhadap publikasi foto, baik zine maupun buku foto, juga tak bisa lepas dari hasil mengakses terbitan-terbitan koleksi Perpustakaan Fotografi Keliling (PFK)—sebuah perpustakaan yang diinisiasi oleh sindikat fotografi asal Bandung, RAWS SYNDICATE. Saya menjumpai PFK pertama kali waktu mereka membuka perpustakaan temporernya di Kelas Pagi Yogyakarta pada 1 Mei 2017. Gerakan sosial melalui literasi dari Bandung punya posisi dan caranya sendiri yang merakyat. Oleh sebab itu, saya menyangka terbitan mandiri sebagai media pergerakan pasti memiliki tempat khusus tersendiri di Bandung.

Sangkaan saya cukup terkonfirmasi saat saya pertama kali berpartisipasi melapak di Bandung Zine Fest (BZF) 2024 yang digelar pada 20 Januari 2024 di Badak Singa 6, Bandung. Saya menghitung ada total 110 pelapak di BZF 2024 dengan komposisi 73 lapakan zine dan 37 lapakan drop zine. Pengunjung yang hadir lebih buanyak! Dari buanyaknya jumlah pelapak dan pengunjung, saya mengamati bahwa buanyak dari mereka memproduksi, mendistribusi, dan mengonsumsi terbitan-terbitan yang bermuatan kritik sosial. Selama 12 jam melapak di BZF 2024, saya belajar, lewat terbitan mandiri warga Bandung belajar memiliki kesadaran sosial bersama secara bersama-sama. 

* * * 

Distribusi adalah satu isu yang sering dibicarakan dalam wacana penerbitan mandiri. Masalah genting yang sering didiskusikan dalam kegiatan penerbitan bukan soal produksi, tetapi distribusi. Ketika semua orang saat ini bisa memproduksi terbitannya sendiri—salah satu faktornya berkat kemungkinan print on demand—memperoleh pembaca adalah persoalan lain. Untuk apa membuat terbitan jika bukan untuk dibaca orang lain, bukan? Untuk itulah acara-acara yang berkaitan dengan pendistribusian karya-karya terbitan mandiri di berbagai tempat punya peran penting sebagai ruang pertemuan antara terbitan mandiri dengan pembacanya dalam skala yang lebih luas dan masif. 

Bagi saya, penerbitan mandiri tumbuh bersama komunitasnya. Setiap penerbit tentu perlu hidup dan terlibat di dalam komunitasnya. Untuk mengambil sampel, karena menerbitkan karya-karya fotografi maka inisiatif penerbitan yang saya kelola tentu perlu hadir dan terlibat di dalam komunitas fotografi. Dari situ sebuah terbitan harapannya bisa menjangkau pemerhati terkecil, minimal untuk bisa diakses dan dibaca. Dari situ, ide-ide dipertukarkan dan ruang apresiasi terbangun, meski dalam ruang lingkup kecil di lingkaran sendiri. Nah, sedangkan partisipasi aktif di kegiatan lapak-melapak adalah siasat untuk menjangkau pemerhati di lingkaran-lingkaran baru. Tentu perlu melihat terlebih dahulu konteks kegiatan tersebut, apakah memiliki irisan dengan bentuk dan konten terbitan. Namun, setidaknya, dengan ikut serta di acara-acara yang berkaitan dengan pendistribusian karya-karya terbitan mandiri, peluang terbitan untuk bertemu dan diapresiasi pembaca dari berbagai komunitas jadi lebih luas. Dan, hal tersebut menumbuhkan dua hal, yaitu semangat dan kepercayaan diri. Tanpa tumbuhnya kedua hal yang berkaitan dengan mental tersebut inisiatif penerbitan bisa perlahan-lahan tiarap.

Saya sendiri mengamini bahwa persoalan distribusi bukanlah hal yang mudah dijalani. Ada banyak waktu, tenaga, pikiran, mental, dan uang yang perlu diinvestasikan. Namun, saya ingat kata seorang teman yang bilang bahwa distribusi bukan melulu persoalan jual-beli terbitan sebagai produk, tapi juga bagaimana ide-ide yang termuat dalam terbitan itu juga bisa disampaikan, dibicarakan, dan disebarkan lewat saluran apa pun. Saya sepandangan dengan teman saya dalam pemaknaan soal distribusi. Hal yang membuat penerbit juga harus berupaya sendiri dalam mengenalkan dan mempromosikan nilai-nilai yang termuat dalam terbitannya, misal lewat konten di media sosial mereka. Dengan begitu, ada ide-ide dan bentuk terbitan yang tetap tersebar ke publik. Namun, itu tidaklah cukup. Ketika mendapat kenyataan bahwa terbitan yang telah dibuat minim apresiasi, tentu upaya-upaya distribusi tersebut tidak akan berlangsung lama. Oleh sebab itu, penerbitan mandiri membutuhkan platform distribusi yang mempertemukan segala kemungkinan keberlanjutan. Dan kemungkinan itu hadir di acara-acara macam zine fest dan art book fair. Kemungkinan keberlanjutan hadir secara mencolok ketika semua pegiat dan pemerhati penerbitan mandiri berkumpul dalam satu “ruangan” yang sama untuk berinteraksi secara langsung. 

Selalu ada pelajaran baru dari setiap kegiatan lapak-melapak yang saya ikuti. Hal yang penting dari berpartisipasi di acara-acara seperti zine fest dan book fair adalah jadi semangat untuk membuat terbitan lagi karena tahu akan ada platform distribusi pada waktu-waktu tertentu. Ada perasaan terjamin bahwa sebuah terbitan akan bisa bertemu pembacanya. Dan, secara psikis, itu sungguh membantu untuk tetap optimis. Dari ikut kegiatan lapak-melapak jugalah saya bertemu dan berjejaring dengan banyak teman “seperjuangan”. Dari ikut kegiatan lapak-melapak jugalah saya bertemu dengan banyak pembaca baru. Dari ikut kegiatan lapak-melapak jugalah saya jadi memikirkan persoalan penerbitan mandiri sebagai ruang inklusif

Saya harus berterima kasih terlebih dahulu kepada Bunga Zine Fest sebagai sebuah acara yang membuat saya memikirkan penerbitan mandiri sebagai ruang inklusif. Apakah dalam suatu kegiatan produksi, konsumsi, dan distribusi terbitan mandiri ada pihak-pihak yang terlewatkan? Apakah ada suara-suara yang terlupakan? 

Ketika saya mendapat kesempatan untuk berganti peran dari penerbit menjadi tim program Yogyakarta Art Book Fair 2024: Pilot Edition bersama Syafiatudina, sebisa mungkin tim program membawa spirit semangat penerbitan mandiri sebagai ruang inklusif. Dari tiga program YKABF 2024: Pilot Edition, yaitu talk, book presentation, dan workshop, saya dan Syafiatudina berbagi peran untuk mengajak teman-teman yang berkecimpung di dunia penerbitan mandiri. Ini khususnya untuk yang sedang aktif di Yogyakarta guna membagikan ide-ide termutakhirnya kepada publik yang lebih luas. Keberpihakan kami terhadap keterwakilan suara-suara yang selama ini berada di pinggir tentu memengaruhi pendekatan kami dalam mendesain program untuk YKABF 2024 dan tahun-tahun yang akan datang. 

Tahun-tahun yang akan datang, saya membayangkan program YKABF tidak hanya menjadi platform untuk mendistribusikan ide dan praktik penerbitan mandiri lewat lokakarya, perbincangan gerakan dan karya terbitan, atau penelitian semata. Irisan dengan seni memungkinkan artikulasi penerbitan mandiri berpotensi jadi lebih lebar. Bagaimana jika ide dan praktik terkait penerbitan mandiri diartikulasikan lewat pameran, penayangan, pertunjukan, dan hal-hal yang belum terpikirkan? Hal-hal yang perlu diupayakan dalam kepentingan memperluas akses dan jangkauan publik terhadap terbitan mandiri. Hal-hal yang perlu diupayakan untuk meneruskan semangat penerbitan mandiri agar terus tumbuh, berkembang, hidup, dan beregenerasi.

[1] Nama SOKONG! dicetuskan oleh Deni Fidinillah setelah mendengar ajakan saya untuk membuat sebuah penerbitan publikasi foto yang bisa menjadi ekosistem pendukung karya teman-teman yang-sedang-tumbuh. Keinginan untuk bisa bikin penerbitan yang menerbitkan karya teman yang-belum-jadi-siapa-siapa berasal dari respons terhadap karakteristik buku-buku yang dipamerkan di Awor Photobook Fair. Apakah iya untuk menerbitkan publikasi foto harus jadi tokoh publik dulu? Apakah muatan narasinya harus sebesar dan seberat itu? Skala produksinya harus semahal itukah?

[2] Lihat https://sokongpublish.com/publikasi-digital/sokong-1-fetish/

[3] Berangkat dari pemikiran bahwa suatu inisiatif yang melembaga lebih visibel daripada inisiatif yang dibuat perseorangan.

[4] Lihat https://sokongpublish.com/publikasi-digital/sokong-2-pasang/

[5] Acara peluncuruan zine bersama di Journey Coffee & Record adalah rangkaian ketiga Road to YK Zine Fest. YK Zine Fest sendiri yang rencananya hadir pada 2019 tidak jadi terselenggara.

[6] Lihat bit.ly/megazine1 

[7] Nama akun IG @ykzineclub sekarang sudah berubah jadi @ykartbookfair 🙂

[8] Putri, Famega Syavira (2018, Maret 22). Anak-anak muda yang bergerak dengan buku, juga di jalanan [halaman web]. Diakses dari https://www.bbc.com/indonesia/trensosial-43483501.

Tulisan ini menjadi bagian dari buku Limpah Ruah Kemungkinan: Lembaran Kisah dari Yogyakarta Art Book Fair yang dieditori oleh Rifki Akbar Pratama. 

Buku Limpah Ruah Kemungkinan masih tersedia. Untuk meninjau dan memesan di sini.  

Prasetya Yudha, seorang penerbit dan editor foto yang berdomisili di Yogyakarta. Sejak 2018, bersama beberapa kawan, menjalankan sebuah platform penerbitan terkait fotografi bernama SOKONG!. Saat ini terlibat menjadi bagian dari tim program Kumpul Buku Foto Yogyakarta dan Yogyakarta Art Book Fair.