Percakapan bersama Kurnia Yaumil Fajar: Pertemuan-Pertemuan Kecil terkait Seni Pertunjukan & Perbukuan di Bangkok
Pada pertengahan bulan Maret 2025 lalu Kurnia Yaumil Fajar berkesempatan melakukan perjalanan ke Bangkok, Thailand. Di sela-sela agenda mengintip kegiatan BIPAM selama lima hari, Nia yang sedang mulai mengelola TOS!, art bookshop & library by SOKONG!, tidak lupa menyempatkan diri mengunjungi beberapa toko buku dan bertemu dengan beberapa seniman pembuat buku di Bangkok.
Prasetya Yudha mengajak Nia melakukan percakapan kecil untuk mendokumentasikan pertemuan-pertemuan di Bangkok, khususnya yang berkaitan dengan agenda perbukuan.
Prasetya Yudha (Pras): Pada 12-16 Maret lalu kamu mendapat kesempatan untuk mengintip BIPAM. Bisa ceritakan sedikit tentang acara tersebut?
Kurnia Yaumil Fajar (Nia): BIPAM kepanjangan dari Bangkok International Performing Arts Meeting, sebuah platform/festival pertunjukan yang sudah ada sejak 2016. Aku pertama kali mendengar tentang BIPAM di Indonesian Dance Festival (IDF) 2022. Kemudian pada tahun 2024, mereka (BIPAM) menjadi salah satu panelis di IDF dengan tajuk “Festival and City Dynamics”.
Salah satu yang membuat penasaran memang cara pengorganisasian mereka, dengan tim yang kecil dan seluruhnya perempuan, aku cukup penasaran dengan bagaimana festival ini berjalan. Alih-alih berfokus pada pertunjukan saja, BIPAM lebih banyak membuat program pertemuan, diskusi, dan presentasi-presentasi, baik dari kelompok baru, maupun yang sudah berjalan cukup lama. Setiap harinya akan dimulai dengan artist talk, kemudian panel-panel diskusi, lalu di malam hari akan ada pertunjukan.
Pras: Apa yang menarik perhatianmu selama mengikuti acara tersebut?
Nia: Pertama, aku selalu menyukai datang ke festival/program kegiatan serupa. Bertemu orang baru, dan sebagainya. Meski kali ini datang ke festival pertunjukan yang aku ragu menyebut diriku orang pertunjukan 🙂
Sedikit background, aku mulai mengenali pertunjukan dengan bergabung di kelompok Rokateater pada 2016 sebagai tim yang mengelola jadwal dan tim riset. Lalu pada 2017, aku mengajukan diri magang di Teater Garasi sebagai fotografer, pengelola arsip, dan lalu keterusan. Tahun 2022, aku berkesempatan jadi tim media sosial di Indonesian Dance Festival.
Hal yang kujalani beriringan dengan kerja-kerja SOKONG!. Apa yang aku senangi dari dunia pertunjukan memang bertemu banyak orang, memiliki tim yang bekerja bersama, dan ramai. Aku menemukan itu juga di BIPAM. Aku berangkat bersama Ratri Anindyajati, direktur Indonesian Dance Festival, yang kemudian mengenalkanku dengan banyak produser seni pertunjukan. Membayangkan pekerjaan mereka, aku teringat pada kerja-kerja kurator dan editor (pelan-pelan ini coba kubayangkan).
Mereka pandai menceritakan dan membahasakan apa yang mereka kerjakan. Seperti percakapan tentang Open Access Festival — fringe, atau model network yang bermacam-macam. Soal network di dalam festival ini kentara sekali, soal bagaimana kamu terhubung dengan orang-orang yang juga melakukan hal yang sama denganmu, tapi lebih serius, dibicarakan dengan serius. Ada logika pasar yang bekerja di sana. Pasar yang sedang diupayakan.
BIPAM punya program yang menyenangkan bernama “Tables”. Ini adalah program yang memungkinkan presenter/programmer/produser/kelompok lain untuk melakukan presentasi tentang apa yang dilakukan, dan pengunjung yang notabene adalah orang yang bergelut di bidang ini juga, akan memasuki table yang mereka minati.
Pras: Selain menjadi insan seni pertunjukan di BIPAM, kamu juga sempat bercerita kalau memanfaatkan kesempatan perjalanan ini untuk menyelipkan agendamu sebagai insan seni perbukuan. Coba ceritakan lebih lanjut.
Nia: Sejak awal, tentu aku menyelipkan agenda mampir ke toko buku yang dekat dengan lokasi kegiatan. Sebelum berangkat aku menyapa mereka untuk mengajak bertemu, dan barangkali bisa mengobrol — hal yang kupelajari juga dari Ratri. Meeting-meeting, pertemuan-pertemuan, lalu bila jodoh bisa bikin proyek bareng. Bisa jadi hanya obrolan saat minum, tapi setidaknya, dalam proses itu ada mimpi yang sedang dibagi, ada ikatan yang sedang dibangun. Orang yang kuhubungi adalah Withit dari Vacilando Bookshop, juga Wuthipol–tepat sebelum aku berangkat, dia membuat postingan tentang zine foto. Kupikir akan menyenangkan bila bisa bertemu.
Sebelum bercerita lebih lanjut, ada satu performance yang menarik hati di BIPAM, tapi aku tidak bisa menonton karena tidak mendapat slot. Judulnya MANUAL, sebuah one-on-one performance yang berlangsung di perpustakaan. Di dalam artist talk-nya, mereka bercerita tentang kerja pustakawan, pengalaman membaca buku di perpustakaan, yang berkaitan dengan sensori kita. Kebetulan, BIPAM juga berkolaborasi dengan Vacilando Bookshop, toko buku foto/art book, yang sudah kuintip sejak lama. Ada banyak pertemuan buku di BIPAM. Aku juga bertemu dengan Nikki dari slow burn books, yang kebetulan sedang memiliki agenda seninya di Bangkok (termasuk BIPAM).
Toko buku terdekat yang kukunjungi di sela agenda BIPAM adalah Spacebar Zine. Teman-teman Zine Zan Zun menitipkan terbitan volume kedua mereka di sana. Aku datang sebagai kurir. Hahaha. Toko buku tersebut berada di sebuah area penginapan gaul: ada galeri, coffee shop, vintage store, dan lain-lain. Lokasinya masuk-masuk gang. Dengan penuh keringat aku sampai di sana dengan berjalan kaki selama 20 menit. Sore itu kuhabiskan dengan melihat buku-buku di sana. Sangat beragam dan gaul. Aku sudah menggunakan kata gaul dua kali, karena itu yang kurasakan. Buku-buku penuh warna, sticker, postcard, art prints. Dari buku anak sampai buku-buku berisi foto model, aku membatin, “Duh aku butuh seseorang untuk menjelaskan ini semua!” Akhirnya aku mengajak Wuthipol untuk bertemu di tempat ini untuk memberi konteks sedikit-sedikit.
Pras: Wkwkwk. Kamu mengajak Wuthipol bertemu untuk memberi konteks tentang fenomena seni perbukuan yang sedang kamu alami di Bangkok. Fenomena yang sepertinya belum banyak kamu dapat padanannya di tempat tinggalmu. Apakah begitu?
Nia: Tentu saja. Sedikit pengalamanku dalam mengunjungi toko buku, khususnya toko buku yang mengkhususkan diri menjual publikasi artistik seperti art book & zine. Ah, bisa panjang kalau menceritakan hal ini.
Aku bertemu Wuthipol, yang memiliki studio sendiri, sangat aktif di media sosial. Dia bilang, “Aku tidak ingin kehilangan percakapan kritis tentang zine. Itu kenapa aku aktif membuat konten-konten yang cenderung clickbait (seperti judul-judul berita itu).” Wuthipol sendiri bekerja sebagai desainer grafis senior, membuat seluruh buku dengan tangannya satu per satu di studio. Beberapa kali bersama Withit (Vacilando Bookshop) membuat kegiatan bersama. Seperti workshop dan book fair kecil-kecilan.
Pertemuan dengan Tum, nama panggilan dari Wuthipol, mengingatkanku pada Kurniadi Widodo. Hahahaha, Tum cukup senior dalam berkarya, kemudian dapat menjelaskan banyak hal yang ada di toko. Dia juga memiliki beberapa buku yang dia sunting, kemudian bisa menjelaskan tentang pegiat zine lain yang berkolektif. Dari cerita Tum itulah yang membuatku akhirnya menghubungi Emily (@falloutamy), yang merupakan bagian dari kolektif south.east.park. Zine personal buatan Emily banyak menarik perhatianku, ada sisi humor getir, juga dia banyak menggunakan elemen foto dalam karya-karyanya.
Emily, masih bekerja freelance untuk banyak hal sambil berkarya. Bagaimana Emily menceritakan kolektifnya, kegiatan personalnya, juga kaitannya dengan kampus (aku bahkan diajak ke kampusnya). Kami mengobrol lumayan panjang, sebagai sesama anak muda yang bergiat di buku.
Pras: Apa saja pemahaman baru yang kamu dapat dari pertemuan dengan Wuthipol dan Withit dari Vacilando, dua orang yang kamu hubungi sebelum berangkat ke Bangkok?
Nia: Pemahaman? Ahahaha! Tolong deh, Pras. Apakah kamu paham apa yang kamu kerjakan? Membuat zine, membuka toko buku, melakukan aktivitas membaca bersama, hahaha. Pemahaman apa ya…
Oh ya, Withit (Pin) ternyata turut terlibat dalam pertunjukan MANUAL di BIPAM. Jadi, buku-buku di dalam perpustakan yang menjadi bagian dari pertunjukan, beberapa adalah koleksi milik Vacilando. Pin bercerita, kalau skena di sini benar-benar terpisah. Tidak banyak orang peminat buku foto/art book yang tahu kegiatan seperti BIPAM. BIPAM ya untuk peminat seni pertunjukan saja, begitu juga dengan kegiatan lain. Masing-masing tidak terlalu saling terhubung.
Pin dan Tum, sama-sama sungguh-sungguh mengerjakan pekerjaan mereka sebagai zine maker dan pemilik toko buku. Secara bisnis, kami tidak enggan membahas “money job”. Tum bilang money job-nya adalah sebagai desainer, sedangkan Pin, money job-nya ya ini, Vacilando Bookshop. Menurut Pin, pendapatannya di toko cukup untuk kehidupan dia dan partnernya sehari-hari. Pin sangat tenang membicarakan toko bukunya.
Di hari terakhir aku di sana, aku datang ke Photobook Club yang dipandu oleh Vacilando. Mereka bekerja sama dengan perpustakaan Bangkok Art and Culture Centre (BACC). Bangunan BACC melingkar, lantainya banyak, dan terhubung dengan mall. Jaraknya hanya beberapa langkah dari tempatku menginap. Masuk ke bangunan, aku naik ke tiap lantai, ada pameran foto, toko kamera, toko print, galeri, macam-macam. Sudah aku sampai di lantai paling atas, aku baru tahu kalau Photobook Club itu ada di basement, wkwk, tidak terlihat, ternyata ada perpustakaan di bawah, pojok. Cahaya masuk dari mana-mana, ada banyak buku di sana.
Aku melihat meja di tengah sedang dipenuhi 6 orang termasuk Pin dan partnernya. Pin membawa koleksi miliknya kemudian dibaca bersama. Tanpa mengerti bahasanya, aku bisa merasakan Pin mencoba untuk berbagi pengetahuannya, juga mendengarkan dengan seksama apa impresi orang-orang terhadap buku foto yang ia bawa. Manis sekali pagi itu. Pin bilang, ini adalah kerja sama yang dia inginkan, mengenalkan buku foto pada lebih banyak orang di luar orang-orang yang datang ke toko bukunya, pada pengunjung perpustakaan yang lain.
Kadang kalau dipikir, kita tidak pernah benar-benar paham yang kita lakukan. Kita hidup, dan terus bergiat menjalani yang kita senangi. Pertemuan dengan Pin dan Tum, mengingatkanku pada apa yang sejauh ini aku dan teman-teman kerjakan. Inisiatif-inisiatif kecil, pertemuan-pertemuan, dan perkenalan-perkenalan. Pemahaman barunya mungkin jadi paham, bahwa ada teman-teman yang juga melakukan hal yang sama di luar sana. Cepat atau lambat, dalam satuan waktu Tuhan–kalau boleh menyebut begitu, kita pasti akan terhubung.
Pras: Di dalam sela-sela waktumu mengikuti acara BIPAM, kamu juga menyempatkan diri untuk mencari terbitan-terbitan yang kiranya bisa kamu bawa pulang untuk didistribusikan di TOS!. Aku penasaran dengan kisahmu mencari buku-buku tersebut. Kita sama-sama tahu bahwa kondisi modal TOS! untuk model beli-putus terbitan itu terbatas. Lantas, terbitan seperti apa yang kiranya ingin kamu bawa dan letakkan di rak buku TOS!? Terbitan seperti apa yang kamu rasa orang lain juga perlu membacanya?
Nia: Aku sempat sedikit cerita tentang pertemuanku dengan Emily, juga dengan Tum. Aku pada akhirnya membeli beberapa buku dari mereka saja. Aku membeli buku Emily karena kesan yang ditinggalkan. Buku berjudul “Fruit & Pants” adalah tipe buku yang akan kukoleksi jika aku menemuinya di sebuah book fair. Ceritanya terkesan lucu dan ekspres, tapi memiliki kedalaman tersendiri. Aku bisa membayangkan buku ini kuceritakan pada orang yang datang ke TOS! — ini semacam preferensiku.
Menghubungi seniman langsung adalah caraku untuk mendapatkan harga (diskon) dari seniman, bukan harga (jual) toko buku. Tum, berbaik hati membawakan satu eksemplar dari tiap karyanya. Aku membawa pulang hampir semua judul, karena suka. Sebenarnya, perasaan pop, lucu, ekspres kutemui juga dalam buku Tum. Tapi sebenarnya, Tum sangat memberi perhatian pada konteks lokasi dari foto-foto di dalam bukunya. Tidak banyak yang bisa kubawa pulang karena batasan modal, hmm, semoga suatu saat dapat investor!
Tambahan, aku tidak membeli buku dari Vacilando Bookshop, karena dia adalah toko buku, bukan pembuat buku — tentu saja. Pin pun paham. Tapi, dari toko buku ini aku belajar soal kurasi buku, soal kebutuhan tersedianya buku-buku lokal, juga soal bernegosiasi dengan distributor, perputaran modal di dalam mengelola toko buku, dan masih banyak lagi. Lini distribusi publikasi artistik memang menantang, tetapi tetap patut diupayakan.
*Semua foto dokumentasi Kurnia Yaumil Fajar
*Sejak 21 Februari 2025, Kurnia Yaumil Fajar & Prasetya Yudha mengelola TOS!, art bookshop & library by SOKONG! yang bertempat di Bolo Space, Kotabaru, Yogyakarta. Ikuti aktivitas mereka via IG @toskecil
Kurnia Yaumil Fajar bekerja di bidang fotografi, penerbitan, dan komunikasi. Ia adalah bagian dari SOKONG!, Garasi Performance Institute, dan Yogyakarta Art Book Fair.
Prasetya Yudha, seorang penerbit dan editor foto yang berdomisili di Yogyakarta. Sejak 2018, menjadi bagian dari platform penerbitan terkait fotografi bernama SOKONG!. Saat ini terlibat di tim program Kumpul Buku Foto Yogyakarta dan Yogyakarta Art Book Fair.