Short Route: Workshop Publikasi Foto Skala Kecil

sebuah catatan proses workshop Short Route di MIWF 2024

PADA TANGGAL 21-22 Mei 2024, kami mendapat kesempatan untuk berbagi metode produksi publikasi foto skala kecil di dalam rangkaian acara Makassar International Writers Festival (MIWF) 2024. Bekerja sama dengan SIKU Ruang Terpadu dan MIWF, kami menyelenggarakan workshop Short Route. Ini adalah kali kedua kami mengadakan workshop setelah akhir tahun 2023 lalu mengadakannya di rangkaian acara Fotobook DUMMIES Day.

Workshop pembuatan publikasi foto yang memanfaatkan satu lembar kertas plano ini bertempat di SIKU Ruang Terpadu. Diikuti oleh 13 peserta: Alfian, Andi Fauzan, Andi Ahyar, Arfina Yusuf, Azwar Asnan, Chairul Ichsan CH Rani, Gibran Sjahana, Indra Abriyanto, Muhammad Alif Alim Arifki, Muhammad Anwar Sadad M., Nurul Fajri, Rejeky Kene, Saleh Hariwibowo. Semua peserta berbasis di Makassar.

Sebelum terbang ke Makassar, kami mempelajari terlebih dulu proyek-proyek yang dikirim oleh tiap peserta. Ada yang memotret dampak perubahan lingkungan, kehidupan masyarakat adat, komunitas subkultur, tempat wisata, benda sehari-hari, perpisahan anggota keluarga, sampai proses navigasi diri. 20-60 foto dari tiap proyek yang terkumpul kemudian kami cetak ukuran 2R (6×9 cm) untuk kebutuhan sesi penyuntingan foto. 

SETIBA DI MAKASSAR, satu hari sebelum workshop dimulai, kami melakukan persiapan dengan belanja berbagai kebutuhan materi workshop di sebuah toko alat tulis dan kantor (ATK) bernama New Agung. Tagline-nya toko ATK, tapi sebenarnya toserba, soalnya dari perlengkapan jemuran sampai alat tulis pun ada :D. Kami sengaja mencari apa yang tersedia di Makassar untuk keperluan alat dan bahan produksi cetak, alih-alih membawanya dari Jogja. 

Workshop Short Route semangat dasarnya memanfaatkan segala infrastruktur yang tersedia. Memanfaatkan segala prasarana yang terjangkau, baik akses maupun modal. Seringkali pembuatan publikasi foto terhambat oleh bentuk produksi yang fancy dan mengedepankan quality. Workshop ini dibuat untuk menawarkan model produksi yang keluar dari perangkap model produksi berbiaya mahal seperti itu, yaitu dengan menyiasati keterbatasan dengan memaksimalkan keterbatasan itu sendiri. Berangkat dari ide keterbatasan tersebut, maka muncul ide membuat sebuah publikasi foto yang hanya memanfaatkan selembar kertas plano. 

Bagaimana selembar kertas plano ini bisa menampung cerita/gagasan yang diusung oleh tiap peserta? Bagi peserta yang membawa proyek jangka pendeknya, model ini bisa jadi sangat cocok untuk menajamkan cerita/gagasan yang mereka bawa. Namun, bagi peserta dengan proyek jangka panjang, model ini bisa membantu mereka untuk mencari pijakan struktur cerita/gagasan yang bisa dikembangkan nantinya. 

Semua foto dokumentasi workshop oleh Muhammad Ishaq

HARI PERTAMA workshop. Kami awali dengan memberi pengantar singkat tentang bagaimana memanfaatkan selembar kertas plano jadi sebuah publikasi foto. Kami memperlihatkan beberapa kemungkinan format publikasi yang bisa dibuat. Dari format 16 halaman sampai 144 halaman. Kemungkinan tersebut bisa dicapai dari mengetahui ukuran kertas seri A (A0 – A10) dan B (B0 – B10). Dan tentu saja perlu mengetahui jenis teknik penjilidan. Dari pengetahuan tentang ukuran media cetak dan penjilidan itu kemudian disesuaikan dengan mesin cetak yang tersedia. Apakah media cetak printer bisa untuk ukuran A4? A3? A2? B5? B2?

Dari menyesuaikan ukuran antara media cetak dengan mesin cetak tersebut maka para peserta bisa memilih/menentukan format. Dalam pemilihan format, para peserta perlu mempertimbangkan kebutuhan (proporsi) foto-foto mereka. Sebagai contoh, sebuah foto pemandangan yang memperlihat keluasan dimensi ruang tentu akan kehilangan detail jika dicetak seukuran pasfoto.

Masuk ke sesi kedua. Para peserta yang telah menata cetakan foto di atas meja kemudian mempresentasikan proyeknya satu per satu. Kami sengaja memilih presentasi berbasis cetakan karena bisa langsung melihat pola visual. Kami juga bisa langsung melihat keterhubungan antara narasi/gagasan dengan pola visual. Dengan melihat keduanya, kami bisa memberi masukan terkait pendekatan/sistem penyuntingan dan format publikasi yang bisa dicoba oleh peserta. 

Ketika melihat proyek foto Indra Abriyanto yang bercerita tentang wilayah pesisir Galesong Utara yang terancam oleh gelombang abrasi akibat penambangan pasir laut terkait pembangunan reklamasi di Center Point of Indonesia (CPI), misalnya. Kami melihat foto-foto hitam putih Indra menyoroti dampak lingkungan yang diwakilkan oleh foto-foto landscape. Juga dengan bagaimana resistensi warga pesisir yang diwakilkan oleh foto-foto portrait. Kami menyarankan kepada Indra untuk menyunting foto-fotonya sebagai foto tunggal, maksudnya foto perlu dilihat satu persatu dan perlu skala besar (full bleed: satu atau dua halaman penuh) untuk mengekspos relasi warga, tempat tinggal, dan dampak lingkungan yang terjadi. Sedangkan beberapa foto format vertikal bisa disandingkan (diptych). Soal positioning, kami menyarankan kepada Indra untuk menunjukkan keberpihakan terhadap warga, dengan menempatkan foto-foto warga dan tempat tinggalnya sebagai pokok soal/dominan dalam Menjelajahi Jejak Duka, judul proyek Indra. 

Ketika melihat proyek Nurul Fajri atau yang biasa disapa dengan Ruri, kami langsung bisa melihat bahwa gambar ilustrasi yang ia buat bisa berposisi sebagai jangkar narasi. Sementara foto-fotonya bisa jadi penambat emosi. Dalam proyeknya berjudul everyday is a gift, Ruri membuat visual diary untuk navigasi diri pascakepergian ibunya. Seringkali, foto-foto dengan pendekatan personal seperti ini sulit untuk diakses potensi maknanya oleh pembaca awam. Dengan menjangkarkan narasi ke dalam bentuk ilustrasi yang komunikatif, bila penempatannya konsisten, maka ilustrasi tersebut bisa jadi pijakan yang cukup kuat bagi pembaca untuk mengakses potensi makna. Dalam praktik penyuntingannya, Ruri banyak memberi ruang kosong (lewat fotonya pun) untuk pembaca bernapas merasakan jeda. Kami melihat bahwa format publikasi yang Ruri kerjakan dekat dengan gagasan visual terapi.

Sesi ketiga. Para peserta melakukan proses penyuntingan, menyusun “narasi” lewat rangkaian foto. Setelah penyusunan selesai, mereka kemudian menerapkannya ke dalam format publikasi yang dipilih. Hasilnya adalah prototipe, sebuah model publikasi analog yang isinya hasil gunting-tempel susunan konten. Harapannya, prototipe yang dibuat memudahkan para peserta merasakan susunan foto mereka dalam kerja halaman (kertas). Mereka juga jadi bisa lepas-pasang cetakan foto untuk mengubah urutan dengan mudah sebelum akhirnya diterjemahkan ke dalam bahasa tata letak lewat aplikasi desain. 

Menyusun foto di dalam sebuah prototipe adalah salah satu cara dalam proses penyuntingan foto. Ada banyak cara sebenarnya, seperti menempel-lepas cetakan foto di dinding/lantai/meja atau mengatur susunan di aplikasi macam Adobe Bridge. Dengan membuat prototipe, kami harap peserta bisa langsung merasakan sekaligus membayangkan hasil jadi skala kerja tata letak mereka. Dengan membolak-balik halaman prototipe, peserta akan mengalami secara langsung efek transisi dari perpindahan tiap foto sekaligus bisa memosisikan diri mereka sebagai pembaca.

HARI KEDUA workshop. Peserta yang sudah menyelesaikan prototipe langsung membuka aplikasi desain untuk menerjemahkan susunan kontennya ke dalam bahasa tata letak. Hampir semua peserta yang ikut workshop belum akrab dengan aplikasi desain publikasi macam InDesign. Mereka lebih akrab dengan Ai, Photoshop, dan Canva. Tidak apa-apa, aplikasi desain apa pun yang penting memudahkan mereka untuk menata letak foto dan mendesain publikasinya. 

Kami menyerahkan segala keputusan tata letak dan desain kepada peserta. Kami hadir jika ada dari peserta yang punya kendala teknis. 

Untuk kertas isi, bahan yang digunakan dalam workshop ini adalah HVS 100gsm. Sementara kertas sampul adalah BC berwarna atau linen hitam 160gsm. Mesin cetak yang digunakan adalah EPSON L120 milik SIKU Ruang Terpadu. Penggunaan mesin cetak rumahan ini membuat peserta hanya bisa memaksimalkan media cetak ukuran A4. Sehingga dari satu lembar kertas plano (61 x 86cm), masing-masing peserta bisa mendapat 8 lembar A4 (21 x 29,7cm). Dari keterbatasan ukuran media cetak tersebut, para peserta bisa membuat format publikasi 16 halaman dengan ukuran A4 (21 x 29,7cm), 32 halaman A5 (14,8 x 21cm), 64 halaman A6 (10,5 x 14,8cm) sampai 144 halaman A8 (5,2 x 7,4cm).

Setelah selesai mendesain, para peserta masuk ke tahap selanjutnya, yaitu cetak-mencetak. Sebuah tahap yang perlu didekati dengan penuh kesabaran 🙂. Ada 13 proyek publikasi dan hanya ada 1 mesin cetak dengan 1 operator. Sang operator tentu tidak hanya berperan untuk mencetak saja, tapi juga menyiapkan susunan cetak halaman (impose). Untung ada aplikasi macam PDF Snake yang membuat kami tak perlu menyusun file cetak (booklet) secara manual. Meski memakan waktu (durasi workshop kami perpanjang satu hari untuk menyelesaikan cetakan), segala kerumitan percetakan bisa tertangani dengan baik, meski tentu banyak kekurangannya, seperti hasil cetakan miring, bergaris, dan sebagainya. 

Sebagai sebuah proses awal pembelajaran membuat publikasi dari tahap awal sampai akhir, hasil cetak yang belum prima bukanlah soal. Bagaimana para peserta menerjemahkan narasi/gagasan mereka ke dalam format cetak adalah hal yang utama. 

Setelah file publikasi digital tercetak, maka tahap selanjutnya adalah finishing! Masing-masing peserta memotong secara manual hasil cetakan mereka, lalu melipatnya, dan kemudian menjilidnya. Teknik jilid yang umum digunakan adalah saddle stitch untuk yang menggunakan format 32 halaman dan kettle stitch untuk 64 halaman.

Seusai publikasi cetak terjilid, tahap akhir dari semua proses produksi ini adalah melakukan penyisiran, yaitu memotong bagian sisi publikasi cetak biar rapi. Dan ketika sudah tersisir, voila! Sebuah dummy dilahirkan!

MENYENANGKAN HATI melihat wajah-wajah kebahagian dari para peserta yang telah menuntaskan segala tahap workshop Short Route ini. Wajah-wajah kebahagiaan bercampur dengan kegetiran hasil cetak yang kurang maksimal juga sih sebenarnya, wkwk. Tapi semua peserta sepertinya sama-sama tahu bahwa dummy yang dihasilkan dari workshop ini barulah tahap awal dari proses pengembangan dan penerbitan proyek mereka. 🙂 

Setidaknya, hasil dummy dari para peserta sudah bisa menampakkan apa yang ingin mereka suarakan. Sudah bisa dipegang, dibawa, dibaca, dan dibicarakan. Membangun sebuah interaksi sosial. 

Di tengah jalannya workshop, ada sebuah momen ketika M, dari tim media MIWF, bertanya kepada kami perihal goal dan harapan dari workshop ini. Kami menjawab bahwa goal dari workshop ini adalah distribusi semangat. Bagaimana para peserta yang mengikuti workshop ini nantinya bisa menyalurkan semangat membuat terbitan mandiri ke teman-teman yang ada di dalam dan di luar komunitas mereka. Kami harap tindakan menerbitkan publikasi foto bisa dilihat sebagai tindakan menerbitkan gagasan. Kami harap lewat terbitan mandiri, produksi gagasan bisa terus-menerus dirawat dan dipertukarkan 🙂

Dummy hasil workshop publikasi foto skala kecil Short Route ini telah dipamerkan di Makaasar International Writers Festival pada 23-26 Mei 2024 di Gedung E-1 Fort Rotterdam. Preview Dummy hasil workshop bisa dilihat di sini

Terima kasih kepada MIWF, SIKU Ruang Terpadu, Aan Mansyur, Rachmat Hidayat Mustamin, Wilda Yanti Salam, Rais, Aswin, Rejeky Kene, Aziziah Diah Aprilya, Muhammad Ishaq, Opsi Coffee yang sudah membantu kelancaran workshop ini. Terima kasih juga kepada seluruh peserta workshop! Terima kasih sudah berbagi semangat menyalanya! Love love!

*Perjalanan SOKONG! ke Makassar dalam rangka mengikuti rangkaian program Makassar International Writers Festival 2024 didukung oleh program Dukungan Perjalanan, Fasilitasi Bidang Kebudayaan (FBK) Interaksi Budaya, Direktorat Jenderal Kebudayaan, Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) Republik Indonesia.