Di Sekitar Peristiwa Fotografis
Di Lembâna, matahari pagi tak kenal basa-basi. Ia membangunkan saya dengan terik yang nyaris tanpa ampun. Mata sebenarnya masih dikuasai kantuk, tapi gerah membuat tidur tak lagi jenak. Rekan-rekan lainnya, yang juga tidur berserak di Taman Budayanya Lembâna, tampaknya mengalami hal serupa. Mereka satu per satu bangkit dari tidur seperti zombi kena panggang. Lagi pula, pagi itu akan ada Lornyéllor, sebuah aktivasi tilas Lembâna. Isbat ‘Dai’ Aumlukov dan Agung Jengjet dari perserikatan Gakcumajalan akan memandu kami berjalan kaki menyusuri perkampungan di Lembâna. Waktu penyelenggaraan yang tertera di poster adalah 06.30 WIB. Kami mulai berjalan pukul 08.00. Telat dikit nggak ngaruh. Panasnya sama.
Pagi itu adalah satu dari tujuh hari penyelenggaraan Babad Lembâna III. Repertoar tahunan ini diselenggarakan di Dusun Perigi, Desa Gadu Barat, Kecamatan Ganding, Kabupaten Sumenep, Madura. Lembâna sendiri adalah satu wilayah lembah di Dusun Perigi, dikelilingi bukit-bukit batu yang tampak setua waktu. Dari Taman Budayanya Lembâna, yang adalah sebuah masjid dan galeri kecil-kecilan, kami berjalan kaki naik bukit-turun lembah, melewati kompleks pemakaman dan sawah-sawah. Terik matahari mencubit kulit, angin lembah membelainya. Cuaca Desember di sini sehangat pelukan ibu. Langkah kaki kami menapaki aspal, makadam kerikil, tanah merah berserak dedaunan, dan rerumputan. Di tengah lanskap kampung petani, kami—segerombolan muda-mudi bercelana dan bersepatu—melangkahkan kaki seperti anak hilang.
Para pejalan ini sebagian besarnya adalah mahasiswa, intelektuil urban, dan pekerja seni. Beberapa datang dari kabupaten sebelah, beberapa lagi bahkan dari luar Madura. Bagi mereka, lanskap pertanian di Lembâna barangkali adalah pemandangan baru, meskipun ini sama sekali bukan barang asing. Orang kota mana yang tak punya imaji tentang desa yang bersahaja, ugahari ijo royo-royo lestari? Barangkali, imaji semacam itulah yang bekerja di benak beberapa kawan—juga saya—saat mengarahkan kamera (ponsel) ke hamparan sawah-ladang, rumah dinding batu tak berplester, sapi-sapi yang mengunyah rumput di kandang, dan para petani bertopi Luffy One Piece yang seliweran menenteng sabit. Dalam perjalanan semacam ini, fotografi tampaknya tak terelakkan. Sembari kami melangkahkan kaki, melihat kanan-kiri, mengarahkan kamera ke sana-sini adalah semacam hasrat yang tak terbendung. Dan kita kerap kali takluk pada hasrat semacam itu.
Imaji tentang desa di kepala kami—juga Anda, barangkali—bisa berasal dari mana saja. Ia bisa dibentuk oleh pengalaman serupa di tempat dan waktu yang lain. Atau, yang paling mungkin dan gencar terjadi: imaji itu hinggap di kepala kita dari layar, baik layar televisi maupun layar ponsel. Algoritma media sosial juga turut menyuplai referensi-referensi visual yang membentuk kecenderungan estetis kita dalam menatap desa. Demikianlah lantas kami melihat hamparan sawah, cokelat tanah yang berbatas horizon dengan langit luas, awan-awan yang berarak di atas bukit, dan gerak tubuh petani yang sibuk mencangkul sebagai sebuah peristiwa fotografis, peristiwa yang layak dilihat melalui bingkai pengetahuan fotografi. Dalam sesi diskusi dadakan beberapa hari pasca Lornyéllor, Agung Jengjet dengan takzim menyebut peristiwa semacam itu sebagai, “Keindahan yang dititipkan Tuhan kepada kita.” Keindahan yang tanpa ampun menggoda kami untuk memfotonya, lalu mewartakannya ke khalayak luas melalui fitur Instastory. Dalam hal ini, peristiwa fotografis bertaut-erat dengan kehendak untuk memperlihatkan sesuatu.
Di hadapan peristiwa-peristiwa fotografis itu, keindahan-keindahan itu, kami seolah terlalu eman untuk melihatnya hanya dengan mata telanjang. Mata kami—juga Anda—adalah nama lain bagi kesementaraan, dan keindahan apa pun yang dilihatnya akan berlalu sebagai kisah. Fotografi sebagai perangkat ‘pengabadian’ perlu dikerahkan untuk meretas kesementaraan itu. Agar apa? Agar supaya siapa pun yang tak hadir di hadapan peristiwa-keindahan itu bisa turut menyaksikannya, meski penyaksiannya tak penuh seluruh.
Tapi, seperti pernah ditanyakan Erik Prasetya dalam Estetika Banal & Spiritualisme Kritis: apa itu keindahan? Dan apakah peristiwa fotografis mesti memuat keindahan itu? Dalam bukunya, Erik tak banyak mendedah bagaimana sesuatu menjadi keindahan. Baginya, “Salah satu bentuk formasi bermakna yang tersingkap dalam sepersekian detik adalah relasi estetik antar-elemen dalam bingkai–yaitu hubungan antar-manusia (dan sekelilingnya) dalam kenyataan yang tidak diresepkan.” Setidaknya, itulah resep keindahan bagi Erik Prasetya dalam Estetika Banal. Di luar itu, ia lebih banyak menyoal ketidakadilan yang menyelubungi proses produksi keindahan.
Keindahan di Lembâna yang terekam melalui fotografi adalah hasil tatapan kami—orang-orang asing. Kami tak hidup di sana; tubuh dan pikiran kami sepenuhnya berjarak dari seluruh peristiwa fotografis yang ada di sana. Kami datang ke sana sudah dengan modal kerangka pengetahuan tertentu, modal yang membuat mata kami sigap bekerja sebagai lensa kamera. Mata kami peka untuk mengukur komposisi, arah cahaya, tata warna, dan tata bentuk dari setiap jengkal peristiwa, dan dengan pengukuran itulah kami memutuskan ke mana bidikan kamera (ponsel) mengarah, memutuskan mana yang fotografis dan mana yang tidak. Dengan kata lain: peristiwa fotografis dan keindahan semata adalah proyeksi atas hal-hal yang jarang kami lihat dan alami sehari-hari. Segala yang jarang itu lalu diukur dan diolah oleh pengetahuan fotografi yang telah kami miliki.
Orang-orang tua yang hidup di Lembâna mungkin juga melihat bentang alam di sekitar mereka sebagai keindahan, atau mungkin juga tidak. Tapi, yang pasti, mereka menatap bingung saat menyaksikan gerak-gerik fotografi kami, seolah berkata, “Ngapain hal-hal begituan difoto?” Bagi mereka, hamparan sawah dan bukit-bukit adalah kasunyatan hidup sehari-hari, peristiwa biasa. Dan, ketika melihat sawah, mata mereka tidak menatapnya dengan pengukuran komposisi dan warna.
Anda mungkin saja berpikir bahwa peristiwa fotografis bertaut-erat dengan ketimpangan (akses) pengetahuan. Bahwa peristiwa fotografis hanya mungkin dialami oleh mereka yang punya modal pengetahuan tertentu, dalam hal ini modal pengetahuan fotografi. Saya juga sempat berpikir begitu, sebelum teringat sebuah peristiwa di tempat dan waktu yang lain.
Pada suatu malam, di Jogja, saya nongkrong bersama seorang kawan yang baru saja wisuda. Ia juga berasal dari Sumenep, seperti saya. Sambil terkekeh, kawan saya ini bercerita betapa malunya ia karena, “Keluargaku telat dateng ke wisuda soalnya kelamaan foto-foto di palang pintu kereta pas keretanya lewat. Baru kali ini mereka lihat kereta api.” Teringat cerita yang mengundang gelak-tawa itu, mata dan pikiran saya terbuka lebih lebar untuk melihat peristiwa fotografis.
Akses terhadap pengetahuan fotografi memang tidak dimiliki semua orang. Namun, akses terhadap fotografi sendiri tidak lantas jadi terbatas. Hari ini, hampir setiap orang bisa mengakses ponsel berkamera, meskipun akses itu agak diperantarai oleh agensi pinjol. Dan karenanya, setiap orang juga jadi punya akses terbuka pada praktik fotografi. Persis di sinilah peristiwa fotografis bisa dialami semua orang, tentu saja dengan praktik dan cara pandang berbeda-beda. Pada dasarnya, peristiwa fotografis berdiri di atas banyak hal yang berjalin-kelindan secara kompleks: ada keterpukauan dan ketakjuban di sana, juga perjumpaan, penemuan, keterasingan, kehilangan, keganjilan. Hal-hal yang sangat mungkin dialami siapa saja di mana saja.
Keluarga kawan saya tadi mengalami perjumpaan perdana yang menakjubkan dengan kereta api. Mereka secara sadar merasa perlu merekamnya melalui perangkat fotografi (tentu saja kamera ponsel). Maka, momen kereta api lewat, yang bagi saya tampak biasa saja, menjadi peristiwa fotografis luar biasa bagi mereka. Saya bisa membayangkan ekspresi para pengendara motor yang menyaksikan kejadian itu, tatapan mereka pasti tidak jauh beda dari tatapan orang-orang Lembâna, tatapan yang seolah berkata, “Ngapain hal begituan difoto?” Kejadian serupa bisa terjadi kapan saja di mana-mana, dengan motif berbeda-beda.
Besar kemungkinan sekumpulan wong ndeso akan memfoto gedung pencakar langit sebagaimana orang kota akan memfoto lanskap sawah, keduanya sama-sama mengalami keterpukauan pada objek berbeda. Ada orang pergi ke tempat karaoke mengenakan sarung dan kopiah, sangat mungkin ada orang lain yang akan merekam keganjilan itu dalam bentuk foto. Warga kampung akan sangat mungkin berfotoria jika mengalami perjumpaan dengan presiden. Para wisudawan lazim berfoto bersama sebelum berpisah dari almamaternya. Seorang penjual sangat mungkin memfoto produknya semenarik dan sejelas mungkin karena menemukan itulah cara ampuh meningkatkan penjualan. Seorang peminat sejarah sangat mungkin memfoto rumah tua terbengkalai sebagai kenangan dan arsip. Dalam kemungkinan-kemungkinan ini, peristiwa fotografis jadi niscaya punya konteks, dan konteks itu bisa beraneka-ragam. Sejak siapa saja bisa mengakses kamera, peristiwa fotografis bisa dialami bahkan oleh mereka yang tidak punya modal pengetahuan fotografi sama sekali.
Namun demikian, masih ada satu pertanyaan ganjil yang menarik: di hadapan peristiwa yang paling fotografis sekali pun, perlukah fotografi senantiasa hadir? Untuk perkara ini, Isbat Aumlukov punya semacam jawaban. Sepanjang perjalanan Lornyéllor, dengan mata agak memicing, tatapannya menyapu seluruh lanskap Lembâna. Kadang agak lama ia terpaku, dan begitu saja ia berlalu. Tangannya tak sibuk mengarahkan kamera ponsel seperti kawan-kawan lainnya. Ketika saya tanya kenapa, ia hanya berseloroh, “Males, Dai. Yang ditangkap kamera nggak selalu seindah yang dilihat mata.”
Ragil Cahya Maulana, pustakawan partikelir yang menggemari fotografi vernakular. Tertarik melihat fotografi sebagai bahasa dan proses interaksi sosial. Bisa dihubungi melalui instagram @mausenang.