Membaca arsip foto keluarga
Seingat saya—dan ingatan saya bisa saja keliru—hanya ada tiga foto keluarga yang pernah terpasang di rumah kami. Pertama, potret bapak dan ibu pada hari pernikahan mereka, yang terpajang di kamar utama. Kedua, potret nenek dari pihak ibu, yang saya buat pada 2004 dan saya gantung di kamar sesudah nenek meninggal pada 2005. (Nenek cukup lama tinggal bersama kami dan menempati kamar saya.) Ketiga, potret bapak, yang kami tempatkan di ruang tengah sesudah bapak berpulang pada 2016. Ada pula foto-foto lain, tetapi tidak dipajang; kebanyakan tersusun di dalam album-album bonus dari lab cetak foto dan tersimpan rapat di dalam kardus di lemari. Saking rapatnya, kami sempat tidak tahu di lemari dan kardus yang mana bapak menyimpannya.
Sewaktu pindah rumah, saya membawa sejumlah foto dan arsip keluarga yang dapat saya temukan. Beberapa foto amat berharga bagi saya. Ada sebuah album foto yang isinya tidak penuh. Pada sampulnya, bapak menuliskan nama anak-anaknya dan angka tahun 1994, sebagai keterangan tentang isinya. Ada juga beberapa lembar foto lepas, kira-kira seukuran kartu pos, yang warnanya mulai pudar. Di dalam satu foto, terlihat saya dan adik saya, didampingi ibu, sedang mengikuti acara piknik sekolah ke Kaliurang pada 1991. Ada pula empat foto bapak dan ibu yang baru pertama saya lihat setelah bapak meninggal. Mereka tampak masih muda di situ. Sepertinya, foto itu diambil sebelum mereka menikah, sekitar awal 1980-an atau akhir 1970-an.
Rekaman itu berharga sebab tidak dapat diulang—khususnya karena bapak telah tiada—sementara ingatan saya tentang momen-momen lampau itu makin aus dan buram. Misalnya, terkait album 1994 tadi, saya ingat bapak sempat menyodorkan kamera kepada saya dan saya menerimanya, tetapi saya tidak ingat apakah saya lantas membidikkannya atau foto manakah yang merupakan bidikan saya. Saya ingat bapak pernah beberapa kali membuka-buka foto-foto masa kecil kami dari lemari. Namun demikian, saya tidak ingat pernah melihat bapak menyimpan klise (film negatif) foto-foto itu. Mungkin saja, bapak memang tidak memelihara klisenya sesudah fotonya dicetak—praktik yang setahu saya cukup lumrah pada kalangan juru foto awam kala itu.
Ingatan memang rapuh, sebab itu fotografi sebagai medium rekam kerap dianggap sebagai perpanjangan dari ingatan—saya bisa lupa, tetapi foto akan selalu mengingat. Fotografi merekam momen menjadi citra yang dapat dilihat kembali dan menjadi benda yang dapat disimpan untuk selama-lamanya—atau sekurang-kurangnya hingga rekaman itu rusak. Memfoto sering disejajarkan dengan membuat kenangan, karena foto merekam sejarah. Foto keluarga merupakan kepingan sejarah keluarga, yang membentuk dan menjadi bagian dari arsip keluarga, bahkan sampai lintas generasi. Kemenakan-kemenakan saya belum pernah bertemu dengan mendiang kakeknya, tetapi mereka dapat mengenalnya lewat arsip foto keluarga yang masih tersimpan.
Saya tidak tahu dengan arsip keluarga pihak bapak, tetapi di dalam keluarga besar ibu, arsip foto lintas generasi seperti demikian tersimpan di rumah paman saya di kota kelahiran ibu. Saya baru mengetahui keberadaan foto-foto itu—kecuali potret kakek, yang sejak saya masih kecil telah terpasang di ruang tengah—saat kakak sepupu saya menunjukkannya, sewaktu kami mampir setelah pemakaman bapak. Saya kira, arsip keluarga memiliki nilai yang sama dengan arsip yang lebih formal, seperti arsip museum atau arsip pemerintah, hanya saja konteks dan tataran yang berbeda membawa konsekuensi penanganan dan pengelolaan yang berbeda pula. Arsip keluarga cenderung tersusun oleh ingatan, sedangkan arsip formal butuh penataan yang lebih ketat.
Di samping menyimpan sebagian arsip foto keluarga sendiri, saya juga menyimpan beberapa foto keluarga yang tua dan asing, yang saya beli dari lapak pedagang loak pada suatu pasar malam. Tujuan saya menyimpan foto keluarga yang asing itu tentu berbeda dari maksud saya menyimpan foto keluarga sendiri. Saya tidak kenal siapa orang-orang yang ada di dalam foto itu atau siapa yang membuatnya; pun tidak tahu kapan, di mana, dan untuk apa foto itu dibuat. Akan tetapi, ada pula dorongan yang mirip dengan alasan saya menyimpan arsip foto keluarga saya sendiri. Saya rasa, saya tertarik dengan kemungkinan cerita yang dikandungnya, selain juga penasaran dengan praktik fotografi pada masa silam, yang sedikit atau banyak terpantul di dalam foto itu.
***
Foto keluarga yang saya bicarakan di sini bukan cuma foto bersama seluruh anggota keluarga, melainkan juga foto-foto anggota keluarga yang dibuat untuk keperluan pribadi dan foto-foto pribadi yang dibuat sebagai dokumentasi keluarga; tidak hanya di dalam situasi formal, namun bisa pula kasual; mungkin dibuat oleh juru foto profesional di studio, tetapi sering pula diabadikan oleh juru foto awam dengan kamera sederhana atau gawai. Contoh yang umum termasuk foto pernikahan, foto wisuda, atau foto liburan. Foto keluarga lazimnya tidak dibuat sebagai karya yang adiluhung untuk publik (bukan ditujukan untuk pameran, penerbitan, maupun perniagaan), tidak juga sebagai dokumen resmi untuk kebutuhan legal dan administratif.
Foto keluarga sebetulnya luwes, lantaran kerap berada di posisi antara atau justru mendua: bersifat manasuka, namun mencerminkan konstruksi sosial tertentu; merupakan rekaman pribadi, tetapi ditempatkan di ruang tamu, yang semipublik; dibikin untuk keperluan sendiri, namun sekaligus menjadi bagian dari catatan zaman, bersama foto-foto keluarga lainnya. Terlebih lagi, ketika foto keluarga lepas dari tangan pemilik aslinya dan keluar dari konteks awalnya. Foto-foto yang aslinya bersifat pribadi itu kini menjadi berada di ranah publik. Umpamanya, foto keluarga tidak bertuan yang dijual di loakan, seperti yang saya beli, atau foto keluarga yang karena suatu hal kemudian dihibahkan kepada dan dikoleksi oleh museum, seperti arsip foto kolonial.
Arsip foto keluarga merupakan salah satu koleksi besar dan penting di dalam khazanah fotografi kolonial, khususnya tentang Indonesia—banyak yang berwujud album berjudul “Souvenir”. Penjajah menggunakan fotografi terutama—namun tidak terbatas hanya—untuk merekam keadaan tanah jajahan, masyarakat dan budaya lokal, serta pembangunan yang mereka lakukan. Rumitnya dan mahalnya fotografi masa awal membuatnya menjadi simbol status elite. Orang Eropa kelas menengah ke atas memakainya untuk membuat potret. Hal ini ditiru oleh golongan ningrat dan saudagar lokal. Memasuki abad ke-20, fotografi menjadi lebih murah dan lebih mudah, sehingga makin banyak dan beragam orang memfoto berbagai acara kumpul keluarga.
Saat menelaah arsip foto kolonial Tropenmuseum pada 1998, kurator dan antropolog visual Elizabeth Edwards mengungkapkan, arsip tersebut bernilai karena dapat diteliti untuk menguak kaitan etnologi dengan sejarah kolonial, juga dengan sejarah fotografi dan seni. Bahwa banyak dari arsip foto itu dihasilkan oleh juru foto amatir, yang kerap memfoto lingkungan dan rumah tangga mereka sendiri, justru menambah keluwesannya. Sebagai bagian dari foto vernakular, foto keluarga lazim dibuat secara spontan, merekam momen sehari-hari sebagai dokumentasi sejarah pribadi. Nyaris tidak ada hasrat estetis di dalam proses perekamannya, hanya dorongan untuk semata-mata merekam, sehingga foto keluarga tampil seakan-akan lebih jujur dan apa adanya.
Di samping sebagai rekaman sejarah, sejarawan Tina Campt menempatkan foto keluarga juga sebagai rekaman ungkapan pribadi dan sosial orang-orang biasa di dalam mencitrakan kedirian, kepribadian, dan status sosial mereka. Foto lama, Campt mengutip sejarawan fotografi Laura Wexler, tidaklah menunjukkan kepada kita “seperti itulah masa silam”, namun merekam pilihan yang diambil di tengah pergumulan daya-daya yang tidak kasat mata. Lalu, mengembangkan pandangan Wexler, Campt menambahkan pentingnya menggali tujuan pembuatan foto dengan memahami hubungan sosial, kultural, dan sejarah di dalam dan di luar bingkai, termasuk hubungan antara yang difoto dengan pembuat foto—dan dengan kita, yang melihat foto.
Penelitian untuk menyingkap sejarah juga dapat dilakukan terhadap foto keluarga pascakolonial. Dari sejumlah kerja yang dilakukan dengan materi arsip foto keluarga temuan—mengikuti gejala makin seringnya foto sejarah dan arsip dimunculkan di dalam praktik seni dan fotografi sejak 1990-an—salah satu yang menarik disimak adalah Unhistoried, yang diprakarsai Arif Furqan. Melalui pengumpulan arsip foto dan narasi keluarga Indonesia, khususnya era Orde Baru, proyek ini ingin melihat bagaimana ideologi pembangunan, yang didengungkan dengan gegap gempita oleh rezim itu, merasuk dan berlangsung pada akar rumput. Foto keluarga, yang dari luar tampak bersahaja, tidaklah lepas dari tarik ulur dengan narasi besar semangat zaman yang melatarinya.
***
Arsip tidak netral, karena dibangun dengan pemilihan dan pemilahan. Tujuan, kepentingan, dan kategori menciptakan pembedaan antara yang dianggap relevan dan layak diarsipkan dengan yang tidak, sehingga arsip sering bersifat sepihak. Oleh karena itu, kita tidak dapat melihat arsip semata-mata sebagai kumpulan fakta objektif, namun juga perlu menengok hal-hal yang luput dari pengarsipan dan memeriksa dampak sosialnya. Di sisi lain, fotografi pernah diterima sebagai medium pengarsipan yang ideal, sebab dapat merekam keserupaan dan mengabadikan momen secara mekanis. Namun demikian, pandangan ini telah sering digugat, karena kebenaran tidak tunggal dan realitas tidak sepenuhnya objektif. Fotografi, juga arsip, punya muatan subjektivitas.
Di dalam konteks foto keluarga, soal subjektivitas itu makin kentara, atau malahan kian ditonjolkan. Ada momen yang difoto dan ada yang tidak. Sebagai tangkapan momen pribadi untuk dokumentasi pribadi, foto keluarga lumrahnya hanya merekam yang dianggap dekat dan dirasa penting oleh pembuat foto. Yang diutamakan bukan momen itu sendiri, melainkan kesan pembuat foto terhadapnya. Lebih jauh lagi, kita dapat pula mengamati bagaimana foto keluarga ditampilkan. Foto atau momen yang dipandang lebih penting, membahagiakan, dan menunjang citra pemiliknya akan diletakkan di tempat yang lebih terlihat, misalnya dengan dicetak besar dan digantung di dinding ruang tamu, bukan hanya disusun di dalam album atau disimpan di kamar.
Termasuk arsip foto keluarga yang saya temukan tersimpan rapat di dalam kardus di lemari di kamar adalah foto wisuda kakak dan adik saya, yang dicetak lebih besar daripada foto-foto lain, tetapi juga cuma bapak simpan bersama arsip lain. Saya tidak tahu persis mengapa keluarga saya nyaris tidak pernah memajang foto, namun beberapa teman yang pernah datang ke rumah barangkali akan langsung bertanya, memangnya mau dipasang di mana. Dinding rumah kami sudah dipenuhi berbagai benda luberan dari warung di bagian depan dan gudang di bagian belakang, serta tumpukan barang-barang usang yang dibuang sayang. Ditambah lagi, kami jarang menerima tamu, jadi memang tidak punya alasan untuk memamerkan apa pun kepada siapa pun.
Foto yang tidak dipajang bukan lantas berarti tidak membanggakan atau tidak penting. Saya kira, foto-foto tersebut bisa jadi justru lebih bernilai pribadi, sebab itu sengaja disimpan sendiri sebagai kenangan yang tidak untuk dibagi, dengan beraneka alasan. Arsip foto keluarga yang dapat saya temukan di rumah dan kemudian saya bawa pindah, demikian juga foto-foto saya yang lain, pun hanya saya simpan; tidak saya pasang di dinding rumah kontrakan yang sekarang saya tinggali. Malahan, ada arsip foto yang tidak (belum) pernah saya buka-buka lagi sejak pembuatannya hingga sekarang, yaitu foto-foto dari pemakaman bapak, yang saya minta didokumentasikan oleh beberapa teman, dan foto-foto terakhir yang sempat saya buat sebelum bapak meninggal.
Sebelum tutup usia, bapak sempat dirawat di rumah sakit selama dua pekan. Sebagai satu-satunya anak yang tinggal di Yogyakarta (saudara-saudara saya bekerja di luar kota), saya mendampingi bapak setiap hari. Entah karena apa, saya selalu merasa canggung untuk memfoto bapak—atau juga anggota keluarga saya lainnya. Saya terpikir untuk mengoptimalkan kesempatan berdua bersama bapak di ruang rawat inap dengan coba melawan perasaan canggung tersebut. Jadilah, saya memberanikan diri memfoto bapak selama dirawat. Waktu itu, manalah saya tahu kalau bapak akan pergi. Setelah bapak akhirnya berpulang, barulah saya insafi betapa bernilainya foto-foto itu bagi saya sebagai rekaman terakhir bapak menjelang penghujung hayatnya.
Mengapa foto-foto itu tidak (belum) saya kunjungi lagi, saya sendiri juga penasaran. Salah satu alasan yang bisa saya ceritakan—di antara alasan-alasan lain yang tidak mudah saya tuangkan ke dalam kata-kata—adalah, bahwa mungkin saya lebih ingin mengenang bapak sewaktu kondisinya masih sehat, ketimbang melihat bapak terbaring di ranjang rumah sakit, apalagi meninggal, seperti tergambar di dalam foto-foto itu. Akan tetapi, saya pun tidak mau melupakan momen itu, sehingga foto-foto itu tetap saya anggap rekaman yang berharga dan tidak saya buang. Sentimental memang jadinya. Itu menurut saya, yang masih punya hubungan langsung dengan bapak dan arsip tentang bapak, serta sebagai pemilik dan pembuat arsip foto-foto itu. Kadang-kadang, saya bertanya-tanya pula, bagaimanakah jika suatu saat nanti foto keluarga kami bertemu dengan tatapan asing, seperti foto-foto lawas di loakan atau arsip foto-foto kolonial di museum.
Yogyakarta, September 2021
Budi N.D. Dharmawan tinggal dan bekerja di Yogyakarta. Budi mengerjakan banyak hal, di antaranya meneliti, memfoto, menulis, menyunting, mengkurasi, juga menjadi pembicara dan mentor. Budi senang mengamati berbagai soal, terutama fotografi, jurnalisme, seni, sejarah, dan pendidikan.