Remains, Ardiles Akyuwen

Oleh Prasetya Yudha

pieces or parts of something that continue to exist when most of it has been used, destroyed, or taken away

Mencari pijakan awal dengan menelaah maksud judul perlu saya upayakan untuk mengawali ulasan terhadap Remains, judul buku foto terbaru Ardiles Akyuwen. Dari sekian kemungkinan maksud yang terkandung di dalam Remains, saya memilih salah satu versi dari kamus Cambridge yang agaknya menangkap kedekatan dengan pilihan tata ungkap Ardiles dalam buku fotonya yang berkisah tentang “rumah, penelantaran satwa, dan cinta yang meleburkan perbedaan asal-usul dan keyakinan”.

Sebelumnya, saya mengenal Ardiles sebagai seorang fotografer yang menempuh pendidikan formal fotografi. Juga pengajar fotografi dan desain komunikasi visual di salah satu perguruan tinggi, Jakarta. Ardiles (Ambon) membina sebuah keluarga bersama Cininta Analen (Minangkabau). Berdua menempuh hidup vegan dan (yang saya baru tahu) merawat tujuh anjing terlantar di kediaman mereka. Ardiles dan Cininta memanggil mereka dengan Cimut, Kotak, Ciwit, Andaliman, Aboy, Jojo, Ciko; “Ketujuh anak kaki empat kami“.

Ketika menengok kembali pilihan maksud untuk Remains, saya menggarisbawahi tiga buah hal, yaitu potongan, bagian, dan sesuatu yang terus ada. Saya meletakkannya sebagai panduan dalam membaca dokumentasi foto yang mengetengahkan ruang-dalam kehidupan keluarga Ardiles yang tersusun dan tersebar pada setiap halaman buku.

Potongan, bagian, dan sesuatu yang terus ada tersebut tampaknya sudah tersirat sejak perwajahan bukunya. Lima potong ilustrasi dengan skala seimbang mengisi pojok kanan atas sampul kertas berwarna cokelat. Hadir tanda salib dikelilingi dua ekor anjing, rumah Gadang, dan tapak tangan manusia bersamaan tapak kecil kaki hewan. Lalu menyeru pada bagian tengah kiri buku, penjepit kertas baja yang khas kegunaannya untuk mengikat dokumen itu.  

Remains dibuka dengan halaman dedikasi untuk mendiang anak kaki empat Ardiles bernama Kunyil. Cara halaman tersebut bekerja cukup membuat termenung. Goresan tebal lagi kasar krayon hitam mengisi penuh sehalaman menjadi gambar latar untuk foto potret kecil sosok Kunyil. Sorot matanya sayu.

Sebuah foto bernada sayu tersebut berkelindan dengan ilustrasi bertekstur emosi. Cukup membuat genap dalam membangunkan dialognya sendiri. Keputusan kreatif tata letak membuahkan keleluasaan kemungkinan ungkap baca.

Berlanjut pada foto sehalaman pembuka berikut, hadir dua sosok dalam wujud potret diri yang tampak tergambar di dinding. Sekelumit rambut ikal menyeruak di bagian bawah. Keduanya terekam dalam balutan warna temaram.

Di halaman sandingnya, sebuah kata pengantar ditulis sendiri oleh sang pemilik rumah, Ardiles. Tata huruf dan tata marginnya berkarakter khusus. Mengandung garis kerawanan. Tercetak di atas kertas tekstur berwarna kuning gading. 

Menyudahi halaman pembuka dan bersiap memasuki isi buku. Sebelum itu, berhadapan dulu dengan sebuah kutipan tentang cinta dari novel Bumi Manusia karangan Pramoedya Ananta Toer. Cinta sepertinya ingin digaris bawahi betul di dalam halaman pembuka Remains. Dua kali kata tersebut disebut, di awal sebagai rumah dan di akhir sebagai manusia. Keduanya berdiri sendiri dalam kalimat, tanpa sandingan dalam dua halaman terbentang.

Memasuki isi. Dibuka melalui sebuah foto tunggal yang memvisualisasikan aktivitas Ardiles ketika sedang mengajak anak kaki empatnya berjalan-jalan. Pembaca dibuatnya bersiap diri. Bersiap untuk melakukan perjalanan domestik. Perjalanan masuk ke tempat tinggal, sebuah ruang-dalam kehidupan keluarga Ardiles, Cininta, dan ketujuh anak kaki empat mereka.

Perjalanan pun dimulai. Berkenalan dengan anggota keluarga Ardiles melalui siluet tiga foto sosok yang terbagi dalam dua halaman terbentang, berkelindan dengan nama segenap anggota keluarga yang tertulis terang.

Menarik untuk mengamati aktivitas ketiga sosok tersebut. Siluet istri Ardiles, Cininta yang duduk di tepian kasur sedang berinteraksi lewat ponselnya. Siluet sesosok anak kaki empatnya yang duduk lagak-lagu menunggu dari sisi luar pintu kamar yang sedikit terbuka. Siluet kaki Ardiles berpose bersama kantong belanjaannya. 

Di dalam tata letaknya, ketiga foto berukuran sama kecilnya tersebut mempunyai perlakuan peletakkan yang berbeda. Foto siluet Cininta diletakkan di sudut kiri atas halaman sebelah kiri, dua foto siuet lain dibuat bersanding diletakkan di bagian bawah halaman sisinya.

Sampai di sini, di bagian perkenalan, di dalam pikiran saya tiba-tiba muncul hal; Mencoba memahami kepribadian sebuah rumah dengan mengamati susunan tata ruang. Saya membiarkan lewat saja pikiran sesaat itu. Sebab, saya tak bisa menampik kesan kuat yang muncul di benak saya ketika membaca bagian halaman awal ini adalah keheningan. 

Pada perjalanan paruh pertama buku, ketika menjumpai permainan tata letak semakin menjadi, di mana dua halaman yang terbentang bisa diletakkan empat sampai lima foto sekaligus dalam gugusan tertentu, dalam hal ini saya menyebutnya; gugusan kaki; gugusan perbedaan kondisi; gugusan hari jadi; gugusan waktu kerja, saya masih mengalami keheningan (yang ganjil). Ketika anak-anak kaki empat Ardiles dan Cininta merayau dan selalu hadir terus terlibat dalam setiap gugusan pun saya mengalami keheningan (yang akrab) yang begitu jauh dari hiruk pikuk gema menyalak. Namun, semakin jauh saya berjalan bolak-balik memasuki ruang-dalam keluarga mereka, didorong oleh susunan tata letak dan komposisi foto yang dominan mengambil garis diagonal, saya larut dalam dinamika. Ditambah maksimalnya permainan semantik di dalam buku ini yang didorongan oleh penataan foto yang sedemikian rupa itu membuat saya asyik sibuk membolak-balik halaman untuk mengutuhkan sesuatu yang sebetulnya tak juga butuh utuh.

Sampai pada paruhan buku, menyisip empat halaman berwana merah dan biru. Hadir tiga foto di dalamnya. Dimulai dari sebuah foto yang memotret ulang arsip dua sosok rupa. Di sebelah kanan hadir potongan foto anak lelaki berpose dengan jari kanan membentuk tanda ILY (I Love You) di tepian kursi dan di sebelah bawah kiri hadir sebuah pas foto seorang perempuan dewasa yang tertempel pada sebuah kartu identitas. Pada sisipan halaman berikut menampakkan sebuah foto situasi dari hadirnya sebuah cetakan foto potret sosok perempuan di dalam pigura berwarna emas berdampingan dengan salib dan lilin di atas sebuah meja bertaplak motif alam. Pada halaman baliknya hadir sebuah foto  yang menampakkan siluet jari tangan seseorang yang berpose ingin meraih siluet salib dan cahaya berlebih di kejauhan. Dua foto yang ada sosok perempuan dewasa berada pada selipan halaman berwarna merah. Sedangkan foto siluet tangan berada pada selipan halaman bewarna biru.

Memasuki perjalanan paruh kedua buku, mata pembaca langsung dibuat menatap foto detail tato yang melekat pada leher Ardiles. Tato yang wujudnya sama dengan potongan ilustrasi pada sampul buku. Tato lambang Animal Liberation. Saya baru mengetahui pertama kali maksud simbol tato tersebut setelah mendengar dari Ardiles sendiri yang mengungkapkannya di Panna Podcast. Mendengar Animal Liberation, membawa ingatan saya pada pengalaman menonton film Okja (2017), di mana pertama kali saya mendengar gerakan perlawanan pembela hak-hak hewan ini. Meskipun jelas beda konteks karena pada film yang disutradarai Bong Joon-ho tersebut memosisikan pemeranan Jay (Paul Dano) dan kelompoknya sebagai ALF (Animal Liberation Front) yang riuh rendah beraksi menyuarakan kebebasan hak asasi hewan.

Pada halaman-halaman berikut, pembaca tidak lagi sering berjumpa dengan banyak gugus ruang-dalam kehidupan keluarga lagi, melainkan beralih sebentar ke arah pengenalan nilai sosio-kultural yang dibawa atau terbawa di dalam keluarga Ardiles. Pengenalannya pun disampaikan secara sederhana tanpa meninggalkan kualitas nilai simboliknya. Melalui foto detail tato yang memuat maksud pilihan hidup; Melalui foto bunga berlatar lukisan rumah Gadang; Melalui pengambilan foto potret diri Cininta dengan latar belakang lukisan perempuan berbusana adat Minang.

Dari nilai sosio-kultural, lantas perjalanan bergerak kembali ke nilai-nilai yang ditanam atau tertanam di ruang-dalam keluarga Ardiles dan Cininta. Bersama ketujuh anak kaki empatnya yang kembali hadir terus terlibat dalam setiap dialog visual dari halaman ke halaman.

Membaca bagian ini seperti mendengarkan percakapan subtil antar mereka bersembilan. Percakapan yang penuh sentuhan kelembutan tangan, baik Ardiles maupun Cininta dengan anak kaki empat mereka. Tampak juga kekariban antar anak kaki empat mereka, seperti diwakili oleh beberapa momen bermain dan duduk bersama. Seperti saling menjaga. Tata letak foto di bagian ini dibangun lebih tenang, lebih fokus pada keintiman percakapan. Puitisasi visual.

Berjalan mendekati halaman akhir buku Remains, cahaya menyebar ke berbagai sudut ruang-dalam. Tak temaram.

Pada dua halaman terbentang, dari atas dipan, sesosok anak kaki empat duduk tegak di hadapan kasur yang sedang diberdirikan. Duduk tegaknya tak sempurna. Satu kaki kanan depannya terangkat oleh suatu gerakan atau sebab lainnya. Ia melihat ke arah luar dari dalam jendela.

Pada keseluruhan foto yang ada di dalam buku foto ini, Ardiles memotret secara langsung melalui kamera (ponsel?). Tidak ada intensi pengadeganan di dalam cuplikan-cuplikan momen keseharian keluarganya. Tak ada pretensi olah kreativitas berlebih pun melalui teknik fotografi di dalam pendekatannya memotret. Ia nampak cukup diri, tidak ingin mencoba membuat sebuah panggung teatrikal bertajuk drama keluarga. Ia cukup fokus pada detail momen dan gerak kecil kehidupan keluarganya, di dalam rumahnya yang terus berulang setiap hari. Ia memanfaatkan cahaya yang ada di dalam rumah untuk menangkap gerak, interaksi, dan nuansa di dalam keluarga. Melalui strategi penyuntingan dan tata letak yang mengajak pembaca untuk turut berpartisipasi melengkapi narasi dan memikirkan ulang posisi anak-anak kaki empatnya yang sebelumnya terlantar, buku ini adalah sebuah kisah keluarga yang tak biasa, yang politis, yang puitis, yang memberi kehangatan untuk dibaca, berulang-ulang kali.

Remains, Ardiles Akyuwen. Diterbitkan oleh Kelompok Logawa, 2019. Dwibahasa. 15 x 21,5 cm. Softcover, 80 halaman.