Salah kaprah keberaksaraan visual
Beberapa tahun yang lalu saya pernah menulis sedikit tentang keberaksaraan visual (visual literacy)—dengan penekanan pada kata ‘sedikit’. Saya tuliskan pada waktu itu, sejumlah temu wicara dan lokakarya dengan topik tersebut telah digelar. Lantas, apa (lagi) yang mau kita bicarakan ketika kita membicarakan keberaksaraan visual?
Di dalam suatu obrolan, belum lama ini, seorang kawan mengungkapkan, bahwa dia merasa ‘gatal’ ketika membicarakan keberaksaraan visual. Dia tidak ‘anti’ terhadap gagasan tersebut. Dia merasa ‘gatal’ sebab dia jemu, bahwa keberaksaraan visual masih sering ditangkap—secara kurang tepat—sebagai suatu ilmu yang berdiri sendiri, sehingga seakan-akan dapat dipelajari dengan mengesampingkan ilmu-ilmu lainnya. Dia menambahkan, kita perlu memiliki keberaksaraan yang umum terlebih dahulu sebelum bisa beraksara secara visual.
Di dalam sebuah perbincangan yang lain, tidak lama setelahnya, seorang teman lain menyatakan, bahwa dia merasa sebal ketika membicarakan keberaksaraan visual. Dia juga tidak ‘anti’ terhadap gagasan tersebut. Dia merasa sebal, sebab obrolan keberaksaraan visual yang berlangsung di tengah komunitas fotografi kita seperti topik elitis, yang tidak dipahami banyak orang, apalagi khalayak yang asing dengan fotografi. (Komentar dia ini membuat saya termenung, betapa pada zaman semua orang mengandalkan fotografi ini kita masih saja asing dengan fotografi.)
Kepada kedua rekan nan kritis lagi lantip itu, saya menganggukkan kepala sebagai tanda sepakat. Hal senada telah saya singgung sedikit di dalam tulisan saya beberapa tahun yang lalu, yang saya sebut pada awal tulisan tadi—masih dengan penekanan pada kata ‘sedikit’. Dari komentar mereka berdua itu, saya malah jadi berkaca, bahwa ternyata pemahaman komunitas fotografi kita soal keberaksaraan visual belum banyak berubah dan berkembang.
Komunitas fotografi kita memang jamak, di dalam pengertian banyak jumlahnya dan banyak pula macamnya. Di tengah komunitas yang beragam ini, satu hal yang menonjol dan sukar disangkal yaitu kebanyakan merupakan juru foto (artinya, tidak cukup beragam juga sesungguhnya). Tidak banyak yang berkecimpung di sisi-sisi lain fotografi, seperti mengurus pameran, mengurus penerbitan, ataupun mengulas karya dan praktik. Hal lain yang juga lantas terasa adalah kurangnya percakapan fotografi yang tidak teknis melulu.
Keberaksaraan visual termasuk di dalam percakapan fotografi yang tidak teknis melulu tersebut. Namun demikian, barangkali karena kebanyakan dari kita telah begitu terbiasa mendekati fotografi secara teknis sebagai juru foto, pemahaman kita soal keberaksaraan visual umumnya terbatas pada bagaimana melakukannya. Dengan kata lain, di dalam membicarakan hal nonteknis pun kita masih terpeleset dengan pendekatan tekniknya.
***
Telah saya tuangkan di dalam tulisan saya beberapa tahun lalu tersebut, keberaksaraan visual sejatinya bukanlah merupakan suatu keterampilan khusus. Beraksara atau melek secara visual artinya kita mampu memanfaatkan serangkaian pengetahuan untuk membuat gambar yang kita lihat menjadi bermakna. Keberaksaraan visual tidaklah selalu mesti rumit atau sukar, tetapi bisa saja enteng dan sederhana, bergantung pada keragaman dan kedalaman pengetahuan yang kita pakai di dalam membaca gambar—termasuk foto.
Yang kerap terlupakan di dalam membaca gambar adalah, bahwa makna tidak melekat pada gambar itu atau sudah ada sejak dari ‘sananya’. Sebaliknya, makna hadir di dalam kesadaran kita selaku pemandang, baik sebagai kelompok maupun—terutama—sebagai pribadi yang berpikir. Makna, dengan demikian, bersifat asosiatif (kita yang menautkan gambar itu dengan suatu makna tertentu), referensial (makna tidak lepas dari hal lain yang dijadikan rujukan), dan kontekstual (makna dapat berubah bila kerangka acuannya diganti).
Keberaksaraan visual, kemudian, adalah soal kekayaan kita akan hal-hal yang dapat kita gunakan sebagai asosiasi, referensi, dan konteks di dalam membuat suatu gambar menjadi bermakna—bukan soal caranya saja. Tidak ada batasan yang mengikat soal mesti seberapa kaya pengetahuan kita untuk dapat menemukan makna, karena itulah melek visual bisa sederhana (sebab kita dapat semata-mata berpegangan pada cara pandang dan hikmat kita masing-masing) dan bisa pula lebih rumit (sebab ketiadaan batasan itu menandakan beragamnya pendekatan yang dapat dipakai dan luasnya kemungkinan makna yang dapat ditemukan).
Semakin kaya khazanah pengetahuan kita, semakin kaya pula pemahaman yang dapat kita tangkap kala membaca gambar. Saya ulang sebagai penekanan: ‘semakin kaya’, bukan ‘semakin benar’. Pembermaknaan bukan hanya soal benar atau salah—hal yang kadang-kadang masih juga menjebak dan menyempitkan pemikiran kita. Semua orang tentu boleh menafsir. Meski demikian, cara dan landasan kita di dalam membaca gambar itu tetap perlu dipertimbangkan supaya pemahaman kita sahih, masuk akal, dan dapat dipertanggungjawabkan; tidak sembarangan dan jangan semaunya.
Pengetahuan teknis fotografi membantu di dalam proses membaca foto, sehingga kita mampu menebak jenis lensa yang dipakai, jarak pengambilan gambar, kondisi pencahayaan, dan sebagainya. Kita lantas dapat mencoba menafsirkan, bahwa pilihan-pilihan teknis ini barangkali ada maksudnya. Beranjak lebih jauh, kita boleh pula meraba konteks dan tujuan pengambilan foto, membandingkan foto itu dengan karya lain si juru foto, ataupun menyandingkannya dengan karya orang lain. Kita bisa juga meletakkan foto itu di tengah gejala dan kecenderungan di sekitarnya, guna melihat gambaran yang lebih besar di dalam penafsiran kita.
Di dalam melihat gambaran besar, kita tidak hanya dapat memperhatikan apa yang ada dan berlangsung di dalam foto, tetapi juga bisa menyadari apa yang (di-)hilang(-kan) dari sana. Ini perlu diingat, sebab fotografi, di antaranya, bertumpu pada sudut pandang (yang dilihat atau tidak dilihat), pembingkaian (yang dimasukkan atau tidak dimasukkan), pemilihan momen (yang direkam atau yang berlalu), kedalaman ruang (yang tajam atau yang kabur), pencahayaan (dari mana datangnya cahaya dan ke mana perginya bayang-bayang), serta terang gelap (yang tampak atau tidak tampak). Dengan kata lain, memfoto tidak hanya merekam dan menguak, namun pada saat yang sama juga menghilangkan dan menyembunyikan.
***
Fotografi bukanlah pemilik tunggal keberaksaraan visual, seperti citra yang seolah-olah terbangun di dalam percakapan kita tentangnya. Melek visual adalah juga tentang membaca dan memaknai film, poster, peta, lukisan, iklan, patung, desain, teater, instalasi, fesyen, arsitektur, diagram, komik, dan sebagainya—apa saja yang dapat dilihat—di tengah hamparan wacana yang saling berkelindan di dalam keberlangsungan sejarah. Bidang-bidang tersebut sebetulnya dapat pula dimanfaatkan sebagai pembanding di dalam membaca foto.
Ada kalanya, saya menemukan obrolan yang mengaitkan foto, umpamanya, dengan lukisan, yang sama-sama medium dua dimensi, tetapi tidak dibuat dengan merekam, atau dengan film, yang sama-sama medium rekam, namun mencakup rangkaian gambar yang bergerak dan bersuara. Di dalam fotografi sendiri, rangkaian gambar kurang diperbincangkan, barangkali karena kebanyakan dari kita telah begitu terbiasa dengan memandang foto sebagai sebingkai gambar yang mandiri, tidak seperti film atau komik, yang mengandalkan rangkaian gambar sekuensial.
Hal ini berpengaruh pada kurang luwesnya juru foto di dalam melihat dan menyusun karya yang jamak (body of work), baik di dalam melengkapi atau menyelesaikannya, maupun menyajikannya; baik sebagai portofolio pribadi, maupun untuk keperluan pameran atau publikasi. Editing (menyunting)—mohon tidak disamakan dengan retouching (menusir)—dan sequencing (menyusun urutan) masih sering dipandang asing dan misterius oleh banyak juru foto yang menggarap karya narasi visual, juga oleh khalayak yang mengamatinya.
Banyak orang juga, saya rasa, melihat gejala dan kecenderungan sosial dan kultural sebagai suatu hal yang tidak kalah asing dan misterius. Tidak banyak upaya pembacaan foto yang melangkah ke arah sana. Padahal, seperti sudah saya senggol sedikit di atas, membaca foto memerlukan pemahaman tentang bidang-bidang di luar fotografi sendiri. Makna suatu foto hanya dapat ditemukan melalui melihat hubungan foto itu dengan jejaring gejala dan kecenderungan sosial dan kultural yang melatarinya—suatu prinsip yang dikenal sebagai intertekstualitas.
Soal-soal sosial dan kultural inilah yang saya kira agak sukar disampaikan dan dipelajari melalui temu wicara dan lokakarya keberaksaraan visual, yang cenderung berlangsung ringkas dan singkat. Sukar bukan berarti tidak bisa atau tidak mungkin, tetapi materinya tentu menjadi dijejalkan dan tidak menyeluruh. Orang yang tertarik menjelajahi wilayah itu lebih jauh, agar dapat melihat gambaran yang lebih besar, dianjurkan untuk menempuh jalan lain sebagai pelengkap, lazimnya dengan mencari tahu sendiri.
Tidak dapat dimungkiri, bahwa kita perlu memiliki bekal pengetahuan tertentu untuk mampu beraksara secara visual secara sigap dan cekatan. Ini tidak sama dengan menyeberang jembatan, misalnya, yang bisa langsung kita lakukan tanpa prasyarat keahlian khusus. Dengan cara pandang ini, keberaksaraan visual memang menjadi cenderung elitis, tetapi bukannya tidak dapat dimengerti dan dipelajari. Pada akhirnya, beraksara secara visual sesungguhnya adalah soal memahami bagaimana kita melihat. Dengan kata lain, apakah kita sudah betul-betul mengamalkannya, yaitu melek dan sungguh-sungguh melihat?
Yogyakarta, Maret 2021
Budi N.D. Dharmawan tinggal dan bekerja di Yogyakarta. Budi mengerjakan banyak hal, di antaranya meneliti, memfoto, menulis, menyunting, mengkurasi, juga menjadi pembicara dan mentor. Budi senang mengamati berbagai soal, terutama fotografi, jurnalisme, seni, sejarah, dan pendidikan.