Sejarah dan fotografi Indonesia di dalam Fotomedia

Foto oleh Budi N.D. Dharmawan

Rekan Pembaca yang seumuran dengan saya atau lebih tua mungkin ingat Fotomedia, sebuah majalah fotografi terbitan Jakarta pada 1993–2003, yang peredarannya mencakup sejumlah kota di Indonesia. Pada masanya, terbitan ini merupakan salah satu sumber informasi utama seluk-beluk fotografi. Rekan yang berusia lebih muda mungkin lebih mengenal situs-situs fotografi di internet, yang mulai berhamburan sejak akhir dasawarsa 1990-an. Bisa jadi, internet punya peran di dalam tumbangnya Fotomedia—juga media cetak pada umumnya. Di sisi lain, bisa jadi pula, Fotomedia tidak mampu lagi menawarkan nilai lebih, sehingga ditinggalkan pembacanya.

Belum lama ini, saya meluangkan waktu untuk membuka-buka kembali Fotomedia simpanan perpustakaan Kelas Pagi Yogyakarta. Koleksi Fotomedia yang nyaris lengkap itu, bersama sejumlah buku foto, merupakan hibah dari seorang kawan yang pindah ke luar negeri sekitar sepuluh tahun lalu. Saya membaca-baca majalah itu dengan perasaan campur aduk. Ada hal yang menggugah kenangan, namun ada pula hal yang mengejutkan, lantaran baru saya ketahui—Indonesia pernah punya pabrik kamera yang berdiri pada 1982 di bawah jenama Fujifilm dan pemuda Indonesia pernah membuat helikopter nirawak berkamera dengan kendali jarak jauh pada 1990-an.

Saya telah lama terusik dengan betapa sedikitnya yang saya tahu soal perkembangan fotografi di Indonesia pada 1990-an hingga awal 2000-an. Walau mengalami masa itu, saya baru mendalami fotografi pada awal 2000-an. Banyak hal yang saya ingat pernah melihat atau mendengar, tetapi belum sungguh saya pahami. Misalnya, kurator Firman Ichsan di Jakarta bercerita tiga tahun lalu, bahwa lembaga-lembaga kebudayaan asing menggelar banyak pameran foto sebelum dan sesudah Reformasi. Itu mengingatkan saya, bahwa saya pernah melihat beberapa poster pameran foto dari era itu di rumah fotografer Layung Buworo di Yogyakarta bertahun-tahun sebelumnya.

Baru belakangan saya menemukan peneguhan tentang cerita Firman Ichsan dan poster di rumah Layung Buworo itu, yaitu melalui pengumuman, liputan, dan ulasan pameran foto di dalam Fotomedia. Saya sempat curiga pameran-pameran itu diadakan di Jakarta saja, tetapi nyatanya Fotomedia mencatat banyak juga yang diselenggarakan di Yogyakarta. Setiap bulan, ada saja orang berpameran foto, bahkan ada kalanya sampai sembilan di dalam sebulan. Kini, informasi mudah dijangkau dengan sentuhan jari, tetapi kabar pameran justru kerap terselip dan tertimbun informasi lain. Liputan tidak selalu terbit, sedangkan ulasan tidak ubahnya suatu keajaiban.

Pada rentang 1990-an hingga awal 2000-an itu, terlihat ada upaya membangun wacana fotografi guna mengimbangi perkembangan pasar dan teknologinya. Sekarang sebaliknya, fotografi sudah jauh lebih canggih dan digunakan jauh lebih luas oleh semua golongan, tetapi langkah memahami fotografi sebagai sebuah disiplin justru melemah, kalau bukan pincang. Ini mirip, walau tidak persis sama, dengan percakapan tentang penerbitan dan buku fotografi Indonesia sepuluh tahun terakhir. Saat banyak orang membuat buku foto, tidak ada yang membicarakannya. Kini, ketika buku foto mulai banyak dibicarakan, kegetolan orang membuatnya malah condong menurun.

***

Di dalam edisi perdananya, Juni 1993, Fotomedia mencantumkan misi “menebarkan informasi yang bersifat edukatif” dan “menggugah orang untuk menerjuni usaha di bidang fotografi”. Ini sejalan dengan kesan saya sewaktu pertama membaca Fotomedia awal 2000-an. Menebar informasi edukatif lumrah di kalangan terbitan berkala, namun kontekstual jika ditinjau dari segi pendidikan fotografi (khususnya formal) di Indonesia, yang muncul pada 1990-an di Jakarta, Yogyakarta, dan Bandung. Lembaga-lembaga itu rata-rata berorientasi pada praksis. Ini tidak melenceng dari isi Fotomedia, yang banyak memuat pengetahuan teknis beserta sejumlah kiat dari para praktisi.

Menggugah orang menerjuni usaha fotografi cukup unik, karena jarang ada majalah mengemban misi ini. Kiat-kiat yang dibagikan Fotomedia terperinci, dilengkapi cara, proses, dan cerita balik layar. Ada kalanya, Fotomedia memuat kisaran biaya dan perincian perangkat yang dibutuhkan, contohnya untuk membuka usaha studio fotografi digital. Bisnis fotografi, baik bidang niaga maupun media, merupakan ladang baru yang menjanjikan dan turut menimbulkan kebutuhan tenaga kerja terdidik untuk menggarapnya secara profesional. Pada periode ini, ekonomi Indonesia memang sedang tumbuh pesat, sehingga pasar fotografi meluas ke berbagai kalangan.

Beragam jenis dan jenama kamera dan film beredar dengan harga relatif terjangkau, yang mendorong perkembangan pasar fotografi populer dan amatir (pehobi yang serius). Pada pertengahan 1990-an, fotografi digital masuk ke Indonesia, mula-mula lewat perangkat lunak (Photoshop generasi awal) yang dapat mengolah citra hasil pemindaian cetakan foto, lalu disusul oleh kamera digital ukuran kecil (tipe saku) dan kemudian ukuran besar (tipe refleks lensa tunggal). Ukuran citra kamera digital tadinya belum mencapai 1 megapiksel, sehingga terasa kurang sebanding dengan harganya yang mahal. Maklum, teknologi digital masih terhitung muda.

Dengan pembaca sebagian besar pemula, pehobi, dan anggota klub-klub foto (ini dugaan saya, berdasarkan surat-surat pembaca yang diterbitkan), pernyataan misi Fotomedia di atas dapat dibaca sebagai upaya mendorong pembacanya untuk melangkah lebih jauh mendalami fotografi. Namun demikian, Fotomedia juga memuat artikel yang lebih dekat bagi pembaca pemula. Umpamanya, profil tokoh atau klub foto, pelajaran memfoto (mencakup segi-segi teknis, termasuk penguasaan kamera, pencahayaan, dan komposisi), klinik foto (judulnya kritik foto, tetapi hanya mengupas teknis), ulasan produk (kamera, lensa, film, dsb.), serta serba-serbi Salonfoto Indonesia.

Bagi Pembaca yang belum tahu, Salonfoto Indonesia merupakan ajang unjuk gigi para anggota klub dan pehobi serius fotografi di Indonesia. Secara sederhana, kontes tahunan yang digelar Federasi Perkumpulan Senifoto Indonesia ini menilai keindahan dan kesempurnaan teknis foto. Sering dikelirukan sebagai genre (ragam), Salonfoto punya pengaruh besar terhadap fotografi di Indonesia secara umum, sehingga hingga kini kita masih kerap terjebak melihat fotografi sebagai yang indah dan yang teknisnya sempurna belaka; belum banyak menjamah segi-segi nonteknis, misalnya seperti bagaimana fotografi berpengaruh terhadap dan terpengaruh oleh masyarakat.

***

Yang turut membedakannya dari terbitan fotografi berkala lain yang sejenis yaitu, bahwa Fotomedia menyediakan cukup ruang untuk fotojurnalisme sejak semula. Di dalam edisi pertama saja, Fotomedia telah memasukkan artikel tentang pewarta foto James Nachtwey (yang ketika itu pun sudah melegenda) dan kontes World Press Photo 1993 (yang baru saja mengumumkan pemenang), bersanding dengan artikel tentang peluang bisnis studio foto kolam renang dan kamera terbaru dari Canon. Ini tidak lepas dari peran pemimpin redaksi Fotomedia, yaitu Kartono Ryadi, pewarta foto kawakan yang pernah menjadi editor foto Kompas.

Fotojurnalisme terasa kental di halaman-halaman Fotomedia terutama pada 1997–1998. Ini terkait dengan krisis moneter yang melanda Indonesia sejak 1997, diikuti Reformasi dan runtuhnya rejim Orde Baru pada 1998. Fotomedia tidak hanya memuat foto-foto peristiwa dan tragedi yang terjadi pada waktu itu, namun juga turut terdampak oleh krisis yang pengaruhnya luas tersebut. Harga barang melambung tinggi, sehingga Fotomedia sempat menurunkan mutu kertas (seingat saya, sempat ada kelangkaan kertas pula). Harga Fotomedia pun terus menanjak, terutama sejak krisis ekonomi (Feb. 1998 Rp 8.500; Jan. 1999 Rp 9.800; Agt. 1999 Rp 12.800; Sep. 2000 Rp 19.800).

Fotomedia, bersama beberapa majalah berita lain, juga turut memopulerkan esai foto atau kisah foto, yaitu bentuk penyajian foto-foto yang berangkai secara naratif, yang ketika itu masih relatif baru dikenal di Indonesia, dengan memuatnya secara berkala. Umpamanya, pada Agustus 1995, guna memperingati Hari Kemerdekaan Republik Indonesia ke-50 dan Hari Anak Nasional, Fotomedia menerbitkan edisi khusus (lebih tebal dan harganya dua kali lipat edisi biasa) bertema “Anak dan Pendidikannya”, yang sebagian besar isinya berupa esai foto, termasuk di antaranya karya Rama Surya, Erik Prasetya, Oscar Motuloh, Don Hasman, dan Tara Sosrowardoyo.

Tema sejarah pun tidak luput diangkat oleh Fotomedia. Edisi Februari 1995, misalnya, mengupas tema “Fotografi Indonesia 150 Tahun”. Agak membingungkan sesungguhnya, peristiwa apa yang mendasari hitungan 150 tahun pada 1995 itu. Pasalnya, artikel utamanya menyebut 1841 (bukan 1845) sebagai tahun masuknya fotografi ke Indonesia—mengacu keterangan Gerrit Knaap di dalam pengantar pameran foto Woodbury dan Page, yang ketika itu sedang digelar di Erasmus Huis Jakarta. Edisi ini juga memuat artikel sejarah fotografi sejak Aristoteles hingga Kodak, juru foto pribumi Indonesia pertama Kassian Céphas, dan pewarta foto 1950-an Paul Tedjasurja.

Pada Maret 2001, contoh lain, Fotomedia menurunkan laporan utama tentang pameran foto IPPHOS (Indonesian Press Photo Service) berjudul “Tahun-tahun Mukjizat: Karya Foto IPPHOS dari Zaman Kemerdekaan, 1945–1950”. IPPHOS diresmikan 2 Oktober 1946 oleh Frans dan Alex Mendur (dua orang yang menyaksikan dan memfoto Proklamasi Kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945) bersama Justus dan Frans Umbas. Yang turut mencuri perhatian saya yaitu, bahwa informasi pameran telah diterbitkan di Fotomedia edisi September, Oktober, dan Desember 2000, namun tanggal acara di ketiga pemberitahuan itu mundur terus.

***

Biarpun sudah masuk di wilayah Indonesia pada 1841 (dibawa oleh Jurriaan Munnich untuk merekam Candi Borobudur), fotografi masih dipandang sebagai kemewahan hingga perempat akhir abad ke-20. Masyarakat awam hanya menggunakan fotografi untuk mengabadikan momen-momen tertentu. Baru sekitar 1980-an pasar fotografi mulai meluas, disokong munculnya film negatif warna yang lebih peka cahaya dan menjamurnya layanan cuci cetak massal, serta diiringi ditemukannya lampu kilat elektronis, yang lantas turut dipasang di kamera saku mudah pakai (otomatis). Harga-harganya pun cukup terjangkau hingga pertengahan dasawarsa berikutnya.

Di samping pasarnya yang makin meluas, fotografi sebagai praktik juga mulai dipandang secara lebih bersungguh-sungguh. Para pelakunya terus mendorong agar fotografi dapat berdiri sebagai suatu bentuk seni yang populer dan profesi yang serius, serta tidak melulu dianggap sebagai hobi atau milik golongan terbatas. Berkaca dari hal-hal yang saya temukan (kembali) ketika membaca-baca Fotomedia, saya kira fotografi di Indonesia pada akhir abad ke-20 dan awal abad ke-21 seperti sedang mengalami masa keemasan. Saya tidak mengatakan, bahwa fotografi kemudian mengalami kemerosotan, namun kita kini mengalami pergeseran yang saya rasa masih perlu dipetakan.

Sebagai produk dari suatu era, Fotomedia juga mewakili dan mencerminkan semangat zamannya. Saya tidak memungkiri, saya sedikit iri dengan adanya upaya membangun dan mengembangkan wacana fotografi kala itu. Terlebih lagi, saya katakan tadi, sebetulnya saya mengalami masa itu untuk dapat mengamatinya langsung. Kendati demikian, hal-hal itu masih berada di luar ruang jelajah saya, lantaran saya baru mendalami fotografi menjelang Fotomedia tutup usia. Hingga kini, sejumlah tulisan itu tidak terasa usang. Bisa jadi, gagasan yang ditawarkan memang punya tatapan jauh ke depan. Bisa jadi pula, pemahaman kita yang masih belum bergerak jauh sejak itu.

Upaya mengenalkan esai foto oleh Kartono Ryadi dan Arbain Rambey di dalam Fotomedia Juni 1994, disambung artikel memahami esai foto oleh Erik Prasetya di dalam edisi Oktober hingga Desember 1995, masih cocok dipelajari, walau langgam kisah foto personal turut berkembang di Indonesia akhir-akhir ini. Edisi Agustus 2001 mengupas pertanyaan tentang foto jurnalistik dan dokumentasi (serta dokumenter), yang juga masih sering saya dengar, meski soal estetika ikut mengemuka pula di ranah ini belakangan. Demikian pula dengan berbagai komentar, ulasan, dan kritik menyangkut Salonfoto Indonesia, yang berulang kali hadir di dalam Fotomedia.

Seksisme terhadap perempuan pun sering terjadi, baik secara tersirat maupun tersurat. Hal ini sudah lama diwajarkan dan ditopang oleh ilusi, bahwa fotografi dianggap mainan lelaki. Akan tetapi, pandangan ini ketinggalan zaman dan semestinya dibuang. Soal lain lagi, Fotomedia juga beberapa kali memuat tinjauan pameran juru foto asing, yang, menurut kabar, dicemooh para pengunjung, lantaran fotonya secara teknis jauh dari sempurna. Tinjauan itu berusaha mengupas gagasan karya dan mendorong pembaca menafsir karya secara kontekstual, melampaui ke-(tidak)-indahan visualnya. Keberaksaraan visual, ternyata, telah dan masih saja menjadi persoalan kita.

Yogyakarta, September 2022

– – –

Tulisan ini saya kembangkan dari keterlibatan saya di dalam proyek penulisan tentang publikasi fotografi Asia Tenggara yang didukung oleh SEA plateaus (Taiwan) / 本計畫受到SEA plateaus支持

Budi N.D. Dharmawan tinggal dan bekerja di Yogyakarta. Budi mengerjakan banyak hal, di antaranya meneliti, memfoto, menulis, menyunting, mengkurasi, juga menjadi pembicara dan mentor. Budi senang mengamati berbagai soal, terutama fotografi, jurnalisme, seni, sejarah, dan pendidikan.