Seputar Tirakat Qolbee Maliki

Oleh Prasetya Yudha

Qolbee Maliki, dari Tirakat (2020)

“Jika sudah suntuk di kamar sendiri
berkunjung ke kamar tetangga
bisa menjadi alternatif lain”

Mengunjungi kamar tetangga memang memiliki nilai tersendiri. Persis seperti yang ditulis dalam huruf arab pegon oleh Qolbee Maliki di dalam Tirakat, e-zine terbarunya hasil mengikuti program Tunas Residensi Online. Meskipun berbeda konteks, sebagai warganet, aku suka menengok kamar seseorang atau sekelompok orang melalui Instagram untuk mengintip apa yang sedang mereka kerjakan. Dari proses menengok tersebut, aku tertarik untuk terus mengintip kamar milik Tunas yang sedang menyelenggarakan program residensi online sejak pertengahan bulan Mei 2020. Program tersebut diikuti oleh lima peserta.

Seiring waktu berjalan, sedikit sekali kabar kelanjutan program yang bisa diintip dari kamar Tunas. Sebelum pada akhir bulan Juli 2020, aku mendapati Qolbee Maliki, salah satu peserta program, meluncurkan e-zine Tirakat dari kamarnya sendiri. Qolbee menjadi peserta pertama yang memberi kabar hasil mengikuti Tunas Residensi Online. Menjadi kabar gembira tentu saja karena terbitnya Tirakat oleh Qolbee bersama program Tunas Residensi Online turut menghidupkan geliat publikasi fotografi tanah air di tengah pandemi.

Perkenalan pertamaku dengan Qolbee terjadi dalam program Fringe Jakarta International Photo Festival (JIPFest) 2019. Waktu itu ia bertindak sebagai panitia yang turut membantu SOKONG! bersama Kurniadi Widodo menyelenggarakan diskusi dan peluncuran buku foto SOKONG! Vol. 01 di Goethe-Institut Jakarta. Tidak mengira sebelumnya bahwa ia ternyata adalah seorang santri. Tirakat sendiri serupa upaya darinya untuk menemukan jalur hidup yang ia yakini dengan mempertanyakan kembali identitasnya sebagai santri melalui kunjungan ke pesantren yang pernah ia tinggali.

Dalam percakapan via google meet, aku dan Qolbee berbincang tentang hal-hal yang berada di dalam dan di sekeliling publikasi Tirakat.

Qolbee Maliki, dari Tirakat (2020)

Bisa ceritakan proses yang kamu jalani selama mengikuti program Tunas Residensi Online sampai pembuatan e-zine Tirakat?

Awalnya dijelaskan tentang apa itu foto cerita. Lalu ada penjelasan terkait literasi visual. Diceritakan juga sejarah zine dan kemungkinan-kemungkinannya. Pertemuan setelahnya lebih kepada presentasi materi dari tiap peserta. Tiap peserta membawa stok fotonya atau membuat foto cerita baru berkenaan respon isu yang sedang berlangsung untuk kemudian dicari kemungkinan bentuk dalam wujud zine. Ada bimbingan dan penggodokan ide bersama yang menurutku menjadi poin penting selama proses.

Secara bentuk, Tirakat sendiri merupakan hasil inisiatifku karena sejak awal aku ingin membuat zine menyerupai kitab kuning. Kitab kuning adalah kitab berbahasa arab klasik yang biasanya diajarkan di pesantren-pesantren. Disebut demikian karena biasanya kertasnya berwarna kuning. Disebut juga dengan kitab gundul karena bahasa arab yang digunakan tanpa harakat.

Sampai sekarang prosesnya masih berlangsung meski tiap peserta pada akhirnya sudah menerbitkan secara mandiri publikasinya. Rencananya nanti akan ada peluncuran zine bersama secara resmi. Sekarang masih menunggu semua peserta siap terlebih dahulu.

Bagaimana awal ketertarikan mengikuti program tersebut?

Awalnya karena aku melihat sosok Djoyosantyo Joachim. Aku melihat dia sedang membuat sesuatu bersama kelompoknya di Tunas. Daripada aku bingung selama masa pandemi, akhirnya aku memutuskan untuk ikut serta. Kebetulan sudah lama aku punya rencana untuk membuat zine tentang pesantren, cuma masih kurang puas dengan foto yang kupunya. Kupikir ini momen yang tepat untuk mengawali. Momen pecah telur.

Aku sudah memiliki niat untuk membuat sesuatu tentang pesantren sejak akhir tahun 2018. Sejak bulan Desember 2018 sampai bulan Januari 2020, aku beberapa kali menyempatkan diri untuk mengunjungi kembali pesantren yang pernah kutinggali sebelas tahun lalu di Kajen Margoyoso, Pati, Jawa Tengah. Foto-foto yang ada di dalam zine ini adalah hasil dari kunjunganku.

Qolbee Maliki, dari Tirakat (2020)

Kamu kembali ke tempat yang pernah kamu tinggali sebelas tahun lalu. Pesantren sebagai ruang lingkup yang memengaruhi tumbuh kembang watakmu. Apakah ada hal mendesak yang ingin kamu temui? Terlebih pada halaman dedikasi e-zine ini terdengar seperti pengingat diri karena kamu tujukan kepada dirimu sendiri.

Pesantren cukup menumbuhkembangkan cara berpikirku sampai sekarang. Tentu ada kebutuhan untuk mengunjungi kembali. Aku merasa tercerabut dari akar. Aku sering mempertanyakan identitasku. Apakah benar aku berasal dari pesantren? Ruang lingkup hidupku sekarang di Tangerang memiliki nilai hidup dan kondisi yang sangat jauh berbeda dengan pesantren.

Ada yang mendesak karena aku mempertanyakan identitasku lagi. Identitas yang membentuk. Ada kerinduan yang menyusup ketika aku menengok kembali kehidupanku selama di pesantren. Di pesantren itu kita bisa bertemu banyak orang, menemui banyak teman sebaya, tidur bersama, Jika punya masalah dihadapi bersama, diselesaikan bersama. Hidup tanpa gadget. Konflik-konflik di pesantren cukup membantuku saat ini ketika aku berhadapan dengan konflik, entah itu konflik sesama individu atau sama diriku sendiri.

Hal yang mendesak lainnya adalah ungkapan rasa syukur. Hal yang paling kusyukuri selain dapat mempelajari perkara akhlak dan unggah-ungguh adalah kemampuan berdamai dengan keterbatasan. Hidup tanpa gadget membuatku banyak melakukan interaksi dengan teman-teman. Dulu di pesantren satu-satunya cara untuk membunuh waktu selain bercengkerama sambil minum kopi adalah membaca. Aku sangat bersyukur pesantrenku punya perpustakaan yang bagus. Dari Hegel sampai Arswendo Atmowiloto ada.

Satu lagi. Nostalgia. Pada foto kursi di halaman pembuka Tirakat itu adalah tempat biasa aku menangis ketika kangen rumah pada masa awal masuk pesantren. Aku merasakan desakan untuk kembali mengunjungi emosi kerinduan di masa lalu itu.

Apa sejatinya yang kamu identifikasi sebagai akar?

Identitasku sebagai santri. Lebih ke sisi spiritual.

Qolbee Maliki, dari Tirakat (2020)

Tirakat semacam mempertanyakan kembali identitasmu dari tempat belajarmu.

Garis bawah tirakat itu adalah momen ketika aku baru masuk ke pesantren. Ketika aku baru masuk, aku dibimbing oleh seorang senior. Masa-masa awal itu aku masih sering nangis karena ditinggal orangtuaku. Seniorku selalu menenangkanku dengan menyebut apa yang sedang kujalani adalah sebuah tirakat. Waktu itu aku belum paham tentang tirakat. Baru setelah berjalannya waktu aku memahami bahwa makna tirakat itu universal. Bahkan ketika aku membuat publikasi ini bisa dinamakan juga tirakat.

Melalui fotografi, kamu melihat peristiwa di masa lalumu. Kamu menyatakan bahwa Tirakat adalah caramu untuk retrospeksi. Apa makna retrospeksi bagimu?

Aku melihat retrospeksi lebih seperti tindak merefleksikan masa lalu. Mengunjungi kembali sebuah situs penting dalam sejarah hidupku. Penelaahan pengalaman. Aku hidup sekitar tujuh tahun di pesantren. Usiaku sekarang 22 tahun.

Struktur bercerita dalam Tirakat tampak dibangun melalui tangkapan kebiasaan. Kamu tampak menaruh perhatian pada kebiasaan-kebiasaan yang hidup di dalam pesantren. Seperti ada yang ingin kamu sampaikan melalui hubungan manusia dan ruang lingkup hidupnya.

Aku ingin menunjukan kehidupan di pesantren kepada teman-temanku yang belum pernah ke pesantren. Aku ingin menunjukkan hal-hal menarik yang ada di pesantren. Mengajak melihat lebih dalam melalui pengalaman pribadi yang kusematkan pada foto-foto itu. Aktivitas seperti kerja bakti dan menguras comberan jadi penting. Aku teringat nasehat kiai. Kiaiku pernah bilang bahwa setiap ada pancuran pasti ada comberannya. Lihatlah suatu perkara dari dua sudut pandang berbeda. Lalu ketika memotret kebiasan setiap pagi para santri yang menjemur pecinya sehabis kelas itu mengingatkanku pada nasehat kiai yang pernah mengingatkan untuk tidak melepas peci setelah keluar dari pondok pesantren. Para kiaiku dulu sering mengutarakan sesuatu lewat metafora menarik. Aku coba untuk mengimplementasikannya ke dalam foto.

Qolbee Maliki, dari Tirakat (2020)

Aksara arab pegon dalam Tirakat memiliki elemen grafis yang kuat. Perlakuanmu terhadap aksara tersebut menyarankan Tirakat dapat dibaca sebagai buku catatan materi pelajaran. Bagaimana pendekatanmu dalam membangun artikulasi teks di dalam e-zine ini?

Ketika memutuskan memilih arab pegon sebagai bentuk teks, aku mempertimbangkan keterbacaan. Apakah aku perlu menerjemahkannya atau membiarkannya begitu saja? Aku akhirnya membiarkannya dengan menyertakan serupa alfabet di halaman depan. Secara tidak langsung aku ingin mengajak pembaca untuk mencari maksud tersembunyi. Apa yang kutulis sebenarnya remeh dan tidak begitu puitis. Aku menulis tentang lokasi, subjek foto, petuah-petuah dari kiaiku yang kuingat sampai sekarang, rasa syukur, pengalaman pribadi…..

Aku terinspirasi oleh Maqamat al-Hariri. Buku yang sangat terkenal dari abad pertengahan. Caraku memperlakukan teks dipengaruhi oleh buku itu. Kusesuaikan dengan pengalaman membuat catatan ketika di pesantren dulu. Huruf yang miring itu intinya. Diperlakukan miring karena untuk menyiasati sedikitnya ruang pada lembar halaman. Teks yang berada di samping itu berasal dari kebiasaanku menulis catatan pinggir. Pengalamanku bersentuhan dengan kitab falak ketika belajar astronomi dulu juga memengaruhi perlakuanku terhadap teks.

E-zine Tirakat adalah langkah pertamamu untuk mengerjakan proyek foto jangka panjang mengenai pesantren di Indonesia. Bisa ceritakan mengenai hal itu dan bagaimana peran e-zine ini dalam mendukung rencanamu?

Langkah pertama memang cuma ingin merekam apa yang kurasakan dulu di pesantren. Setidaknya untuk bisa dijadikan portofolio fisik. Selanjutnya aku ingin mengembangkan isunya. Tidak lagi berpusat pada kenangan pribadi. Aku punya rencana untuk merekam interaksi yang terjadi antara kiai dan santri. Fokus pada pendidikannya. E-zine Tirakat ini sendiri adalah batu loncatan sekaligus pernyataan diri bahwa aku serius menaruh perhatian pada pesantren dan akan terus berlanjut.

Qolbee Maliki, dari Tirakat (2020)

Soal media zine, baik digital maupun fisik. Apa yang kamu pikirkan soal media ini?

Aku melihat media ini mewadahi kebebasan, keintiman, dan kesederhanaan dalam praktik presentasi fotografi.

Kamu turut mengembangkan perpustakaan PannaFoto Institute dengan menulis ulasan #bukufotomingguini di akun instagram PannaFoto. Bisa ceritakan keterlibatanmu?

Aku terlibat program pengembangan perpustakaan ketika mulai membantu kegiatan PannaFoto pada pertengahan tahun 2019. Perpustakaan PannaFoto memiliki koleksi buku foto yang cukup banyak dan beragam. Kupikir membuat resensi singkat di media sosial adalah salah satu cara agar perpustakaan bisa diakses dan mengundang lebih banyak pembaca. Harapannya #bukufotomingguini bisa menjadi semacam katalog perpustakaan berjalan yang bisa ditengok oleh siapa saja yang ingin mengunjungi perpustakaan PannaFoto. Aku banyak belajar dari menulis resensi buku foto setiap minggu. Aku bisa melihat berbagai karya foto dari fotografer yang berbeda, memahami pendekatan mereka, dan meninjau cara mereka bertutur lewat media buku.

Aku penasaran dengan publikasi favoritmu.

Raised by Wolves oleh Jim Goldberg. Aku belum melihat karyanya secara utuh dalam bentuk buku fisik. Jika aku ingin memiliki sebuah buku foto, aku ingin memiliki buku Jim Goldberg itu. Dalam Raised by Wolves, dia memotret anak-anak jalanan. Aku tertarik dengan caranya membebaskan subjek. Seperti pada bukunya berjudul Rich and Poor, setelah memotret subjek, dia lantas meminta subjeknya untuk menuliskan sesuatu pada fotonya.

Satu lagi. Aku suka baca Orhan Pamuk. Satu bukunya yang sudah selesai kubaca dan terus kubaca ulang adalah Istanbul. Ngeri. Aku bisa membayangkan kota yang sedang dia gambarkan dalam memoarnya itu. Dia suka fotografi. Aku ingin memiliki buku fotonya yang belum lama ini diterbitkan oleh Steidl, Balkon. Meskipun dia hanya memotret dari atas balkon, aku penasaran dengan apa yang dia lihat dari atas balkon.

Qolbee Maliki, dari Tirakat (2020)

Publikasi yang membuatmu tertarik malah belum kamu lihat secara utuh dalam bentuk buku fisik ya?

Iya (tertawa). Ada satu buku yang aku suka dan sudah kubaca secara utuh. Gypsies oleh Josef Koudelka. Ada di perpustakaan PannaFoto. Aku merasa Koudelka menyatu dengan subjeknya, orang-orang gipsi. Melihat ketiadaan jarak, apakah dia termasuk orang gipsi itu sendiri ya?

Pada halaman biografi di Issuu kamu menyatakan diri sebagai fans berat musisi asal Sheffield, Jarvis Cocker. Seberapa jauh ia berpengaruh dalam laku kreatifmu?

Aku kurang tahu seberapa jauh. Yang jelas aku kagum dengan cara Jarvis Cocker (bersama Pulp) mengemas lirik lagu yang gelap dengan irama menghentak. Apalagi dalam album Different Class. Bagaimana isu-isu sosial yang miris di Inggris diungkapkan dengan nada jenaka, misalnya pada lagu Common People. Tentu saja.

E-zine Tirakat oleh Qolbee Maliki silahkan baca di sini.

Untuk membaca publikasi Tunas lebih lengkap silahkan lihat di sini.