Tentang praktik mengoleksi fotografi di Indonesia

Foto oleh Budi N.D. Dharmawan

Saya merasa bingung sewaktu mendapat undangan untuk turut serta di dalam sebuah diskusi yang ingin membicarakan bagaimana fotografi dikoleksi dan dipamerkan. Saya bukanlah seorang akademisi yang mengajar atau meneliti di institusi formal. Saya tidak terikat dengan lembaga koleksi, baik negeri atau partikelir, seperti galeri, perpustakaan, arsip, atau museum. Saya juga bukanlah seorang pengoleksi seni atau pengarsip pribadi. Saya seorang pekerja lepas yang bermarkas di rumah. Yang masih dapat dilacak keterkaitannya dengan diri dan kegiatan saya hanyalah kata ‘fotografi’. Undangan itu sungguh-sungguh membuat saya mengerutkan dahi, gagasan apa yang kira-kira dapat saya sumbangkan untuk diskusi itu.

Menyinggung topik koleksi fotografi, saya perlu menambahkan pula, bahwa sependek pengetahuan saya, di Indonesia tidak ada praktik mengoleksi fotografi secara aktif. Lazimnya, lembaga-lembaga yang punya koleksi fotografi menyimpan arsip yang sudah ada saja, tetapi tidak secara terus-menerus mencari, mengakuisisi, dan menambah koleksinya secara berkesinambungan. Ini makin menebalkan keheranan saya, bagaimanakah saya dapat membincangkan sesuatu yang ‘tidak ada’. Orang yang mengundang saya lalu berujar, bahwa justru itulah yang perlu saya ungkapkan di dalam diskusi nanti, bagaimana praktik dan wacana fotografi di Indonesia berlangsung di tengah ketiadaan koleksi dan museum fotografi.

Dengan sudut pandang lain ini, saya tergelitik pula untuk melongok bagaimana fotografi dikoleksi dan dipamerkan di Indonesia. Lontaran itu membuat saya berpikir juga, betapa fotografi di Indonesia tidak ubahnya rumput liar, artinya tidak dirawat, tetapi bisa terus tumbuh. Tumbuhnya seperti apa, tentu merupakan soal lain. Perkara yang sekilas tampak sederhana (karena tidak ada) ini membutuhkan penjelasan yang tidak sederhana (karena ketiadaan itu beralasan dan berdampak). Undangan diskusi yang semula membingungkan tadi segera terasa agak memberatkan, namun tetap menggelitik. Uraian berikut ini saya kembangkan dari pokok-pokok pikiran yang saya sampaikan di dalam diskusi tersebut.

Sebelum berbincang lebih jauh, kita perlu mengingat, bahwa koleksi fotografi bisa berada di tengah konteks yang beragam, baik sebagai koleksi pribadi, koleksi benda bernilai sejarah atau berhubungan dengan peristiwa sejarah, koleksi gambar berdasarkan topik tertentu, koleksi benda seni, arsip, dan lain-lain. Pemilahan ini tidak kaku, sebab selalu dapat diubah, dipisah, digabungkan, dihubungkan, atau digeser sesuai kepentingan pihak yang menangani koleksi, baik pemilik, pengelola, dan penggunanya. Lagipula, suatu foto selalu punya watak luwes, sehingga dapat digolongkan ke dalam berbagai kategori sekaligus. Uraian ini membicarakan koleksi fotografi terutama di dalam konteks museum fotografi.

Saya membuka presentasi saya dengan menceritakan perjalanan saya di dalam fotografi secara sekilas, sebagai perkenalan sekaligus memberi konteks dan gambaran umum keadaan fotografi di Indonesia. Saya memasuki dunia fotografi dua dasawarsa lalu dengan mimpi menjadi juru foto dokumenter yang bekerja untuk majalah. Sejak semula, saya tidak hanya tertarik mempelajari segi teknis fotografi, namun juga selalu menaruh minat pada segi nonteknisnya, baik sebagai suatu medium maupun juga sebagai sebuah disiplin, seperti sejarah dan perkembangan fotografi, tokoh-tokoh fotografi terdahulu berikut praktik dan karyanya, serta bagaimana fotografi digunakan dan dibicarakan di dalam berbagai bidang.

Sewaktu mempelajari segi nonteknis fotografi itulah saya lantas menyadari kurangnya sudut pandang lokal di dalam naskah sumber sejarah fotografi yang kerap dirujuk. Di Indonesia, sejarah fotografi nyaris selalu diajarkan melalui sudut pandang Barat dan sering berkutat pada segi perkembangan teknologinya saja (dari camera obscura, ke Daguerre di Prancis dan Talbot di Inggris, ke penemuan Kodak di Amerika Serikat yang berhasil memopulerkan fotografi secara lebih luas kepada masyarakat, ke kamera dan cara kerjanya, sampai ke teknologi digital). Hampir tidak ada percakapan tentang perkembangan fotografi lokal, serta dampak sosial, kultural, dan politisnya di tengah masyarakat.

Banyak pengajar dan pelaku fotografi mengeluhkan tidak lengkapnya prasarana fotografi di Indonesia. Di Indonesia, tidak ada museum fotografi dan hanya ada sedikit galeri yang menaruh perhatian pada fotografi. Belakangan, ada beberapa museum seni kontemporer, tetapi semuanya merupakan milik pribadi atau swasta dan tidak punya departemen khusus fotografi. Ada kalanya, pengoleksi seni pribadi membeli karya fotografi dari galeri atau seniman, namun mereka melihatnya masih sebagai karya seni rupa yang berwujud foto, belum sebagai medium tersendiri yang juga memiliki sejarah dan wacananya sendiri. Banyak pengoleksi membeli karya lantaran menimbang nilai ekonominya (sebagai investasi).

Praktik mengoleksi fotografi secara aktif oleh lembaga apa pun masih belum terjadi di Indonesia. Museum fotografi pun masih sering dipahami secara keliru semata-mata sebagai museum kamera, tempat orang dapat melihat beraneka ragam peranti merekam gambar tersebut dari masa ke masa, belum membicarakan perihal karya fotografi, nilainya, juga wacananya. Ini mencerminkan fotografi di Indonesia masih berfokus pada soal mengambil foto, belum melihat apa pentingnya suatu karya, serta bagaimana fotografi memengaruhi dan dipengaruhi masyarakat. Itu terlihat pula dari betapa Indonesia punya amat banyak juru foto, tetapi hampir tidak ada sejarawan, kurator, dan kritikus fotografi.

Penulisan dan kritik fotografi masih sangat langka, bahkan pada masa keemasan majalah fotografi di Indonesia, yang populer sejak sekitar dasawarsa 1960-an, sebelum akhirnya kandas pada dasawarsa 2000-an. Kebanyakan majalah fotografi di Indonesia menaruh perhatian utama pada cara mengambil atau membuat foto bagus (indah). Pemahaman fotografi yang masih terbatas pada segi teknisnya ini mengakibatkan rendahnya penghargaan terhadap karya foto. Sebuah laporan pameran foto adikarya August Sanders, Manusia-Manusia Abad Ke-20, di Jakarta pada 2000, mencatat komentar pengunjung yang menyebutnya “monoton” dan “sangat sederhana”, tanpa membahas gagasan di balik karya.

Kita seperti berada di dalam lingkaran setan: Jika A maka B, sekaligus jika B maka A. Di satu sisi, ketiadaan museum fotografi (atau lembaga sejenis yang mengangkat dan memajukan wacana fotografi) membuat fotografi terus dipandang sebatas sebagai kegemaran, pengisi waktu luang, atau pekerjaan yang bersifat teknis belaka. Di sisi lain, oleh karena fotografi masih belum dilihat penting dan strategis itulah, pemerintah pun belum memiliki kesadaran atau merasakan dorongan untuk membuat museum fotografi sebagai ruang pengembangan wacana. Jadi, jangankan membicarakan praktik mengoleksi fotografi, membincangkan lembaganya—bahkan wacananya—saja kita masih berkesulitan.

Di dalam menyebut museum di sini, saya tidak sekadar merujuk kepada bangunannya, namun juga segenap kelengkapannya, termasuk tenaga ahli, pengelolaan program, perawatan koleksi, pewacanaan, pendanaan, dan sebagainya. Pendidikan tinggi formal fotografi di Indonesia, yang sudah berlangsung sejak awal 1990-an, masih terus berfokus pada segi teknis (menghasilkan juru foto), belum membina pemikiran kritis tentang fotografi (mendidik peneliti, sejarawan, kurator, dan kritikus fotografi), juga bidang lain yang terkait (melatih pengarsip dan konservator foto). Ketiadaan pelatihan bagi tenaga ahli fotografi ini membuat kehadiran sebuah museum fotografi menjadi makin sukar dibayangkan.

Menghadapi keadaan demikian, sejumlah juru foto dan seniman memulai sejumlah ikhtiar secara berkelompok untuk membicarakan fotografi di luar perkara teknisnya. Pada 2002, sekelompok mahasiswa fotografi Institut Seni Indonesia Yogyakarta membentuk sebuah kolektif bernama Ruang MES 56. Ruang MES 56 merupakan sebuah kolektif seniman yang bekerja bersama komunitas dan jejaring seni kontemporer secara lintas disiplin. Mereka mengelola sebuah ruang yang difungsikan sebagai studio dan galeri. Di dalam 22 tahun kiprahnya, Ruang MES 56 telah melaksanakan banyak pameran, temu wicara, residensi, pemutaran film, dan menggelar sebuah festival fotografi bernama Jogja Fotografis Festival.

Sesuai namanya, Jogja Fotografis Festival sengaja lebih memberi penekanan pada kata sifat ‘fotografis’ ketimbang kata benda ‘fotografi’. Penekanan ini bermaksud untuk meluaskan pemahaman kita tentang fotografi, tidak hanya sebagai praktik, namun juga sebagai cara pandang. Dengan demikian, festival ini hendak menangkap bagaimana perspektif fotografis digunakan pula di dalam bidang-bidang lain di luar fotografi dan, pada gilirannya, bagaimana bidang-bidang tersebut juga kemudian dapat memperkaya fotografi, sebagai sebuah praktik dan disiplin. Festival internasional ini telah berlangsung dua kali, dengan mengangkat tema “Frame” pada Agustus 2023 dan “Matrix” pada Agustus 2024.

Jogja Fotografis Festival hanyalah merupakan tambahan teranyar di dalam lingkup festival fotografi, yang usianya masih cukup muda di Indonesia. Beberapa festival lain di antaranya Solo Photo Festival (sejak 2015), Bandung Photography Month (sejak 2016), Bandung Photography Triennale (sejak 2022), dan Jakarta International Photo Festival (sejak 2019). (Ada pula sejumlah festival fotografi lain yang pernah diadakan, namun belakangan sudah tidak aktif lagi, seperti Jakarta International Photo Summit, Vision International Image Festival di Bali, Festival Foto Surabaya, Insumatra Photo Festival di Padang, Bandung Photo Showcase, Jogja Photographers Gathering, dan Mois de la Photo Jogja.)

Jakarta International Photo Festival diselenggarakan oleh PannaFoto Institute. PannaFoto Institute merupakan sebuah organisasi nirlaba yang bergerak untuk mempromosikan keterbukaan melalui pendidikan di dalam bidang fotografi dan penceritaan visual. PannaFoto Institute didirikan di Jakarta pada 2006 dengan dukungan dari World Press Photo Foundation. Di dalam perjalanan panjangnya, PannaFoto Institute telah melaksanakan berbagai program untuk mewujudkan visinya, seperti seminar, lokakarya jangka pendek dan jangka panjang, pameran, penerbitan buku foto, pemberian hibah pembuatan karya dan hibah perjalanan bagi pewarta foto, serta Jakarta International Photo Festival.

Jakarta International Photo Festival dan Jogja Fotografis Festival, juga festival-festival fotografi yang lainnya, dapat dilihat sebagai semacam pengganti di tengah ketiadaan museum fotografi atau lembaga koleksi sejenisnya di Indonesia. Melalui pameran dan program-program publiknya, festival-festival ini telah menjadi seperti museum sementara, tempat karya-karya fotografi ‘dikoleksi’ secara temporer, juga menjadi wadah bagi para juru foto, seniman, kurator, kritikus, penulis, akademisi, penikmat seni dan fotografi, juga khalayak untuk dapat saling bertemu dan menyaksikan karya-karya yang dipamerkan tersebut, sekaligus saling mengutarakan gagasan dan bertukar pikiran perihal fotografi.

Festival seperti demikian, pun berbagai pameran dan acara fotografi lainnya, menjadi semacam kawah candradimuka bagi calon kurator dan calon tenaga ahli fotografi lain, di samping membuka kesempatan bagi para juru foto dan seniman untuk menyampaikan ide dan karyanya kepada masyarakat. Guna mengisi sejumlah kekosongan di dalam ekosistem fotografi di Indonesia, banyak pelaku fotografi telah mengambil dan mengerjakan berbagai peran lain pula. Alih-alih hanya menjadi juru foto atau seniman, mereka juga melakukan kerja-kerja lain untuk terus menghidupi dan menghidupkan fotografi, seperti menjadi penyunting, penerbit, penulis, pendidik, peneliti, kurator, pengelola festival, dan sebagainya.

Saya sendiri sudah menulis, mengkurasi, dan mengajar (nonformal dan informal) sebagai sambilan sejak belasan tahun lalu, sebelum memutuskan beralih dari pekerjaan sebagai juru foto dan lebih menaruh perhatian di dalam penulisan fotografi beberapa tahun terakhir ini. Dari pengamatan saya dan sejumlah percakapan dengan kawan-kawan pegiat fotografi, kami rupanya saling mengikuti kegiatan teman-teman lain yang punya keresahan serupa dan cenderung mengerjakan bidang yang masih kurang digarap. Dengan cara kami sendiri-sendiri dan tanpa ada perjanjian atau koordinasi, kami telah berbagi peran untuk bersama-sama menambal lubang ekosistem dan membangun wacana fotografi di Indonesia.

Namun demikian, menggiatkan praktik mengoleksi tetap tidak mudah. Mengikuti upaya pembangunan wacana, museum secara fisik tetap dibutuhkan sebagai tempat pengumpulan dan penyimpanan koleksi fotografi, yang perlu ditunjang peralatan, perlengkapan, dan keahlian yang memadai untuk memastikan perawatannya. Untuk mewujudkannya, diperlukan pula dana besar yang dapat dijamin ketersediaannya di dalam jangka panjang. Selain itu, pengelolaannya perlu dibarengi juga dengan program yang dapat mendayagunakan koleksi tersebut untuk melanjutkan pengembangan wacana fotografi dan pemajuan kebudayaan secara umum. Koleksi yang hanya disimpan (‘koleksi mati’) tidaklah ada gunanya.

Uraian yang masih jauh dari lengkap ini hanyalah sebagian kecil yang dapat saya kemukakan. Setelah diskusi usai, orang yang mengundang saya lalu bertanya, kalau Indonesia tidak punya museum fotografi, lantas di manakah foto-foto karya para juru foto Indonesia sejak dahulu disimpan. Saya menjawab pendek, bahwa setahu saya foto-foto itu biasanya diarsipkan sendiri oleh juru fotonya. Dia bertanya lagi, bagaimana nasib foto-foto itu sekarang, mengingat iklim tropis terkenal tidak ramah terhadap arsip dan benda koleksi. Saya cuma tersenyum kecut. Pertanyaan itu mengingatkan saya, betapa membicarakan koleksi dan arsip tanpa membicarakan konservasi ialah ibarat melewati jalan licin tanpa berpegangan.

Yogyakarta, September 2024

 

Catatan: Pokok-pokok pikiran di dalam uraian ini telah saya presentasikan pada sesi diskusi meja bundar di dalam lokakarya pertama proyek Museum Dialogues, yang diselenggarakan secara daring oleh Northern Centre of Photography at University of Sunderland (Sunderland, Inggris) pada Jumat, 22 Maret 2024 dan pada diskusi meja bundar “Collecting Photography in Southeast Asian Museums” di dalam International Convention of Asia Scholars ke-13, yang diselenggarakan di Surabaya oleh International Institute for Asian Studies (Leiden, Belanda) pada Senin, 29 Juli 2024.

Budi N.D. Dharmawan tinggal dan bekerja di Yogyakarta. Budi mengerjakan banyak hal, di antaranya meneliti, memfoto, menulis, menyunting, mengkurasi, juga menjadi pembicara dan mentor. Budi senang mengamati berbagai soal, terutama fotografi, jurnalisme, seni, sejarah, dan pendidikan.