*sebuah kontes foto

​SOKONG! berkolaborasi dengan Ramesh Ramakrishnan Iyer, seniman asal India yang sedang menjalani residensi di Ruang MES 56. Di dalam residensinya, @reviveramesh mencoba untuk menginvestigasi 160 panel Karmawibhangga Candi Borobudur yang tersembunyi di dalam tanah melalui arsip foto Kassian Chepas pada tahun 1890-1891. Di masa investigasinya, seniman yang menyelesaikan pendidikan master Sejarah Seni Asia di Lasalle Goldsmith Singapore ini berusaha mengumpulkan interpretasi sebanyak-banyaknya atas relief Karmawibhangga. Kontes foto ini adalah salah satu sumber dalam upaya mengumpulkan berbagai interpretasi tersebut, khususnya terkait korelasi kehidupan yang terwakili di dalam relief Borobudur dengan realita hari ini melalui karya fotografi.

Tema dari kontes ini adalah ‘KARMA’ yang dibagi menjadi tiga sub tema untuk diinterpretasi secara bebas melalui fotografi di dalam kontes ini, yaitu :
     1. THE GOOD LIFE
     2. THE BAD LIFE
     3. IN BETWEEN


Ketentuan:
1. Silahkan kirim karya foto tunggal maupun seri (bisa memasukkan foto yang berbeda untuk tema yang berbeda), meyertakan teks      deskripksi dan penjelasan mengenai kesesuaian foto dengan tema. Karya bisa dikirim sebagai karya perorangan maupun kolektif.
2. Karya dikirim ke email  dengan subjek SOKONG! Challenge dan menyertakan:
          a. Nama
          b. Akun Instagram
          c. Kota tempat tinggal
          d. Judul karya
          e. Tema yang dipilih
3. Karya-karya foto terpilih yang sesuai dengan subjek akan mendapatkan kesempatan untuk ditampilkan dalam buku dan atau pameran di akhir masa residensi @raviveramesh
4. Satu karya terpilih di masing-masing tema berkesempatan mendapat uang penghargaan total Rp.1.000.000

Juri:

• Akiq AW @akiqaw – Seniman dan Kurator, @ruangmes56 • Kurnia Yaumil Fajar @nianooe – Peneliti, SOKONG! • Ramesh Ramakrishnan Iyer @reviveramesh – Fotografer dan Peneliti

SOKONG! Challenge. Result!

View this post on Instagram

SOKONG! Challenge, Result. . Nominasi. . TEBUSAN, Saniscawara. Metro Jakarta, bagai magnet, ia menarik orang-orang desa yang mendamba penghidupan yang lebih baik. Hijrah katanya. Tetapi kota yang dipenuhi stasiun-stasiun yang dilewati kereta silih berganti itu, rupanya hanya sebuah persinggahan. Tanggung jawab dan kewajiban pada akhirnya memaksa orang berduyun-duyun ke barat: uang SPP, susu, beras, gula, dan cicilan rumah. Begitulah, seorang kawan akhirnya memutuskan untuk pergi menggauli ibu kota, menggumuli pekerjaan yang tak pernah terlintas dalam benaknya. Berakhir menghabiskan minimal sepertiga harinya di dalam kereta pulang dan kembali duduk berkendara di kereta yang sama esok harinya menuju Jakarta. Tak jauh berbeda, di Jakarta, ia masih tetap setia menaiki kereta, turun dari satu stasiun ke stasiun lainnya. Ia telah sepakat untuk menebus karma melalui perjalanan-perjalanan. . . . Kurnia Yaumil Fajar (Jury): "The train station and the power house became the representation of liminal situation/space. The liminal space of something concrete and imaginary/abstract. Concrete means the human physic to stop and go to one another places. And the abstract is the electricity and signal radiates from it to connect people from one point to another. People do things; get their jobs, meets people and etc. They leave their loved ones at home for the sake of living. And the power house connect those people who leave and left..".

A post shared by SOKONG! (@sokong_publish) on