Lebaran dan Hal-Hal Visual yang Tak Selesai

Foto oleh Ragil Cahya Maulana

Hubungan fotografi dan lebaran barangkali serupa stoples nastar dan selotip bening: keduanya sudah melekat erat satu sama lain. Banyak yang familiar, namun tak menyadari hal ini. Fotografi menjadi instrumen penting dalam kehidupan berlebaran belakangan ini, setidaknya sejak ponsel berkamera bisa dibeli oleh umat manusia dari lapisan sosial-ekonomi mana pun. Bahkan, fotografi bisa hadir lebih dulu daripada momentum sakral bermaaf-maafan. Sebelum atau selepas salat Idulfitri, bahkan sebelum ajang baku sungkem terjadi, hal pertama yang bisa muncul di pikiran kita adalah berfoto bersama. “Yuk, kita foto bareng dulu,” begitu biasanya ajakan seorang istri kepada suami (dan anak-anaknya). 

Ajakan itu biasanya disertai keterangan, “Mumpung ngumpul semua.” Ini keterangan yang sebenarnya penting kita simak, meski ia tampak sepele. Ia menjadi semacam raison d’etre kenapa ritus foto bareng saat lebaran itu tak terelakkan. Bahwa semua orang kini punya perangkat untuk mengabadikan momen ngumpul, itu adalah variabel sampingan, bukan motif utama. Karena, toh, perangkat-perangkat fotografis itu sudah ada di luar momen lebaran, tapi kenapa penggunaannya harus seintens itu saat lebaran? Itu yang ingin saya lacak dari keterangan tadi.

Terlepas dari segala beban pemaknaan spiritual, lebaran secara sosial adalah perayaan momen ngumpul. Lebaran adalah mekanisme silaturahmi akbar, yang sanggup mendorong orang berduyun-duyun menempuh jarak rantau-kampung, menerabas batas kota-desa, hanya demi pulang dan berkumpul bersama keluarga asal. Dan fotografi, hari ini, menyediakan segala yang dibutuhkan untuk merayakan momen ngumpul itu. Fotografi kini tidak hanya menyediakan perangkat untuk mengabadikan, ia juga menawarkan sederet medium untuk mengamplifikasi momen berkumpulnya sanak-saudara saat lebaran. Ketika sebuah keluarga selesai berfoto bersama, dari perangkat yang sama kini mereka punya pilihan untuk mewarta-edarkan foto itu: mau lewat grup WhatsApp, unggahan dinding atau cerita Instagram, atau di beranda Twitter dan Facebook. 

Pada dasarnya, apa sih yang orang abadikan saat lebaran? Kenapa pula yang diabadikan itu harus disebarluaskan ke segala penjuru lewat angin komputasi digital? Jika fotografi diposisikan semata sebagai perangkat, dua pertanyaan tadi terdengar nonsens. Ya suka-suka oranglah mau menggunakan kameranya buat apa. Namun, jika kita memosisikan fotografi sebagai cara pandang, kita bisa bicara lebih jauh soal tatapan dan pikiran kita sendiri bahkan sebelum tangan menyentuh kamera.

Jika kita perhatikan, objek dan anasir visual dalam foto lebaran niscaya selalu sama: keluarga batih, keluarga besar, sesekali makanan. Ketika produksi visual semacam itu kita lakukan dari tahun ke tahun, berulang-ulang dalam skala yang masif, ia mustahil muncul dari dorongan manasuka, ia harus kita lihat sebagai gejala sosial yang terjadi bukan tanpa alasan. Dan salah satu alasan itu, tanpa sengaja, saya temukan dari celetukan seorang kerabat. Saat mengatur formasi untuk foto keluarga, seorang kerabat berkata, “Wah, ternyata anggotanya dah nambah ya.” Ia menunjuk istri saya,  si personel baru dalam skuat foto lebaran saat itu. “Tapi,” lanjutnya, “Dah banyak juga yang nggak ikut foto lagi.” Pihak yang dimaksud adalah para mbah dan paman yang sudah gugur mendahului kami.

Celetukan itu cukup menjelaskan bagaimana fotografi digunakan sedemikian rupa tidak hanya sebagai media rekam, namun juga sebagai mekanisme refleksi dan retrospeksi sosial. Secara teknis-mekanis, yang terjadi saat sesi foto lebaran berlangsung adalah pengambilan gambar keluarga beserta segala peristiwa yang menyertainya. Namun, dalam cara kerja yang teknis-mekanis itu juga terjadi proses penyimpanan dan penggalian sejarah kecil sebuah keluarga. Sesi foto keluarga saat lebaran adalah momentum untuk menyadari bahwa aku dan kamu masih ada bersama-sama saat ini di sini, sekaligus jadi proses retrospektif untuk mengenang mereka yang pernah ada bersama kita, kini hadir sebagai cerita. Momentum semacam itu menjadi penting terutama selepas pandemi. Ketika jarak antara ada dan tiada ternyata bisa sependek tarikan napas, kebersamaan mulai terasa punya harga.

Keterangan lain yang juga menarik diperhatikan saat sesi foto keluarga adalah, “Mumpung pakai baju baru, nih.” Dan ‘baju baru’ yang dimaksud, kemungkinan besar, bermotif seragam. Pernyataan singkat ini bisa menjadi semacam pintu masuk untuk bertamu ke ruang ekspresi yang dibangun oleh tatapan Sang Liyan. Foto keluarga saat lebaran bukanlah sekadar dokumentasi, ia juga adalah cara kita mengekspresikan diri. Cara mengekspresikan diri ini, kerap kali, tanpa sadar kita lakukan sebagai respons atas tatapan imajiner orang lain pada diri kita. Di sini, kita bisa melihat fotografi tidak hanya sebagai caraku memandang, tapi juga sebagai caraku dipandang

Barangkali, sudah bukan rahasia umum bahwa produksi visual foto lebaran juga adalah (re)presentasi citra status sosial. Foto lebaran yang dengan gegap gempita kita sebar luaskan di media sosial adalah semacam pengumuman tak bersuara soal identitas kelas sosial-ekonomi kita. Harus diakui, kita punya dorongan kuat untuk mengamplifikasi identitas status sosial. Dan itu sah-sah saja. Orang-orang di (pedesaan) Madura bisa bersengaja menggunakan sarung BHS seri Masterpiece (silakan cek sendiri harganya di internet) saat lebaran. Pada kibaran sarung BHS itulah mereka membangun etalase imajiner berisi pencapaian kerja keras selama setahun. Sebelum kemunculan berhala-berhala maya macam WhatsApp-Facebook-Twitter-Instagram, amplifikasi status sosial lewat kibaran sarung BHS itu hanya bisa dilakukan melalui parade silaturahmi dari rumah ke rumah. Hari ini, saya bisa melakukannya bahkan sebelum kaki melangkah ke rumah tetangga: cukup jepret, unggah di medsos, beres. Orang-orang di Jakarta Selatan mungkin tidak menggunakan sarung BHS. Mereka bisa berfoto lebaran dengan kemeja Zara, celana Uniqlo, atau mungkin juga Rubicon. 

Amplifikasi identitas lewat jagat maya itu juga terjadi karena jaring relasi sosial kita makin luas. Orang-orang yang bersarung BHS di Madura kini bisa terhubung dengan rekannya yang bercelana Balenciaga di Jakarta. Ketika lebaran, dua pihak ini bisa saling berkirim foto keluarga lengkap dengan kata-kata bertabur maaf dan hikmah. Jangan lupa, interaksi sosial tidak hanya memerlukan penerimaan, ia juga niscaya menuntut pengakuan: aku dan kau adalah bagian dari kelompok sosial-ekonomi yang sama. Foto keluarga saat lebaran adalah bahasa visual atas pengakuan itu. Proses produksi visual foto lebaran juga adalah proses rekognisi sosial.

Dalam proses itu, nyaris tanpa sadar, kita sebenarnya ikut dikendalikan oleh tatapan imajiner orang lain: orang akan melihat keluargaku sebagai representasi status sosial-ekonomiku, maka foto keluargaku harus begini-begitu pakai ini pakai itu saat lebaran. Foto keluarga saat lebaran tidak bisa apa adanya, ia harus mewakili suatu citra: entah itu kerukunan, keserasian, kesejahteraan (finansial), atau juga kemelekan budaya. Detail anasir visual dalam foto keluarga saat lebaran harus dipilih dan diatur sedemikian rupa karena ada banyak tatapan yang akan melihatnya. Tatapan itu bisa juga sudah ada dalam kepala kita, berupa nilai-nilai kultural yang kita percayai sendiri: keluarga itu harus terlihat kompak, perempuan harus bergelimang perhiasan, anak-anak harus terlihat kalem dan patuh. Segala tatapan itu mencuat sebagai sebuah keharusan, kadang dengan biaya tak murah. Tapi, tenang saja, toh diam-diam kita menikmati tatapan itu.

Sampai di sini, kita sudah melihat begitu tak sederhananya perkara berfoto saat lebaran. Tulisan ini hanya menjangkau foto keluarga, yang kian tampak biasa-biasa saja karena sebegitu seringnya dilakukan semua orang. Kita belum bicara lebih spesifik bagaimana anak-anak muda perkotaan mengelola produksi-distribusi foto-foto mereka di Instagram, bagaimana anak-anak muda itu merekonstruksi status sosial mereka melalui penggunaan jenis ponsel-berkamera tertentu. Kita juga belum menilik foto liburan saat lebaran; bagaimana tatapan manusia kota melihat kampung halamannya, bagaimana mereka mengekspresikan tatapan itu dalam bahasa visual. Jika perbincangan ini diteruskan, sangat mungkin kita akan menjalani perjalanan lintas wacana yang tak berkesudahan. Lebaran penuh dengan perkara visual yang tak ada selesainya.

Ragil Cahya Maulana, pustakawan partikelir yang menggemari fotografi vernakular. Tertarik melihat fotografi sebagai bahasa dan proses interaksi sosial. Bisa dihubungi melalui instagram @mausenang.