sepuluh pertanyaan biasa untuk
DONI Y.H. SINGADIKRAMA

Oleh Danysswara
 
Rak koleksi Doni. Y. H. Singadikrama. Foto oleh Danysswara

Sebelum berbincang dengan salah satu pegiat penerbitan mandiri, Doni Y.H. Singadikrama, aku ingin bercerita sedikit tentang sebuah kejadian di rumah kontrakan di mana aku dan Doni tinggal bersama. 

Setelah gagal bertemu dan berbincang dengan Doni pada malam hari sebelumnya, akhirnya pada waktu mendekati dini hari tadi, aku bersama salah satu teman SOKONG!, Albab, bisa bertemu dengannya. Sayangnya, saat ingin kami jumpai, ia sedang tidur di kamarnya. “Ya sudah, dia lagi tidur, tidak usah diganggu. Kita ngobrolnya besok saja ya,” saranku. Tidak peduli dinginnya malam, Albab pun langsung pulang. Sesaat setelah kepergian Albab, Doni dengan mengenakan sweter hijau tiba-tiba pulang ke rumah kontrakan. “Loh kok?! Bukannya kamu sedang tidur?! Lalu yang di kamarmu itu siapa?!” tanyaku heran. Doni pun langsung ke kamarnya dan memastikan kalau tidak ada siapa-siapa di dalamnya. Mungkin hanya aku saja yang salah memahami keadaan.

Oke sekarang kita ajak Doni berbincang!

 

  1. Bagaimana awal ketertarikanmu pada aktivitas penerbitan mandiri?

Awalnya aku bersama teman-teman menginisiasi Blurg Magazine pada tahun 2016. Idenya sebenarnya sudah sejak tahun 2014, tetapi baru terealisasi pada tahun 2016. Blurg itu kan benar-benar media, ya media pada umumnya, tetapi dalam bentuk cetak. Kemudian pada pertengahan tahun 2016, ketika aku membuat layout untuk Blurg edisi kedua, aku terlalu lama menunggu tulisan masuk dari teman-teman. Padahal aku sedang semangat-semangatnya. Akhirnya daripada kelamaan menunggu ya sudah aku bikin sendiri beberapa tulisan dan juga beberapa gambar ilustrasi yang sepertinya belum pernah aku publikasikan sebelumnya. Terus dengar-dengar publikasi yang aku buat itu namanya zine.

  1. Jadi saat itu belum tahu kalau yang kamu buat itu zine?

Aku tahu, tetapi tidak tahu. Aku tahu, tetapi tidak yakin kalau itu zine. Terus aku menunjukkan itu ke teman-teman. Terus mereka memberitahu zine itu apa. Terus aku ngider lah kasarannya. Terus aku jadi kenal orang-orang yang bikin zine. Terus aku memberikan zineku ke orang-orang. Ketika masuk akhir tahun 2016, aku mendapati ide bersama Adit, Vivi, Frida untuk bikin acara zine di Yogyakarta. Membayangkan zine-zine dikumpulkan di satu tempat yang sama sepertinya seru. Lalu jadilah acara Indisczine Partij di Kantin S15 pada Desember 2016.

  1. Kamu memiliki ketertarikan khusus dengan zine dan menelusurinya lebih jauh. Sudah sejauh mana penelusuranmu ?

Sebenarnya kalau membicarakan penerbitan mandiri, aku tidak bisa terlepas dari kolektifku sendiri, Indisczinepartij. Tahun ini kami dapet hibah dana dari Prince Claus untuk meneliti zine. Kami ingin punya narasi-narasi tentang zine dan penerbitan mandiri. Kami sih sebenarnya memang sudah lama ingin melakukannya. Penelitian zine ini bisa terlaksana sekarang karena memang lagi ada dananya.

Di dalam penelitian yang sedang berjalan ini, aku mengambil topik sejarah zine. Aku cukup mempertanyakan kembali zine sebagai produk budaya. Walaupun banyak gesekan di situ, dalam artian banyak yang tidak mengamini pendapatku karena dalam prosesnya aku menyatakan bahwa zine merupakan tempat bertemu dan zine merupakan tempat kita berjejaring dan berkomunikasi. Lucunya adalah ketika aku mencoba melakukan penelitian ini aku dipandang sebagai researcher sehingga ada beberapa narasumber merasakan adanya batas dan jarak. Mereka menganggapku bukan lagi sabagai pembuat zine, tetapi sebagai researcher. Kita sebagai researcher sering dituding memosisikan narasumber sebagai objek. Namun, itu jadi semacam kawasan baru buat aku.

Zine kreasi Doni Y.H Singadikrama. Foto dari Instagram @donisingo.
  1. Zine apa saja yang pernah kamu buat?

Blurg, Iblis Nyolong Timuns, Human, Zaman, Megazine sama Yonaz Kristy.

”Aku menyontek sebentar” (sambil mengambil Ipadnya)

Pada tahun 2018, aku mencoba membuat pameran karena teman-temanku mempertanyakan aku kok tidak pernah menggambar lagi, aku kok tidak pernah pameran lagi. Lalu aku coba pameran. Kebetulan dapat ajakan pameran duo di Viavia Cafe & Gallery, Yogyakarta. Di situ aku bikin dua zine berjudul If dan The Imaginary Creation. Itu aku perlakukan zine sebagai karya seni, jadi aku jual mahal banget. Mahalnya tidak karuan. Aku jualnya Rp. 300.000,- dan ada yang beli! Aku juga kaget ternyata laku. Saat di pameran duo itu aku mencoba untuk tidak mematikan pasar karena harga karya temanku paling murah itu Rp. 2.000.000,-. Ketika aku jual zineku dengan harga seperti biasanya, Rp. 10.000,- atau Rp. 20.000,- itu seperti membunuh pasar, membunuh temanku karena pameran waktu itu kan konteksnya memang jualan. Ya sudahlah aku coba menghadirkan zine seperti karya seni yang dipajang di galeri komersil. Terus setelah lihat prosesnya, bagiku tidak menarik.

Lalu pada tahun 2019 dan 2020, aku memilih lebih fokus sama aktivitas di kolektifku.

  1. Ceritakan tentang Idisczinepartij.

Pada akhir tahun 2016, Idisczinepartij awalnya hadir dulu sebagai nama acara zine-zine an. Lalu pada pertengahan tahun 2017, Rahmawati Nur Azizah memberi ajakan untuk bikin acara. Akhirnya aku dan Rahma bikin acara berjudul ZAMAN: A Short Research about Zine in Yogyakarta di LIR Space, Yogyakarta. Selepas dari acara itu, Idisczinepartij jadi tertarik sama arsip.

  1. Kenapa mengarsipkan zine sampai sebanyak itu (menunjuk lemari koleksi Idisczinepartij)?

Accidental sih. Tidak ada alasan, Tidak ada visi misi yang dibangun dari awal. Semuanya accidental dan organik. Waktu awal proses bikin acara di LIR Space, brief dari sang pemilik ruang, Dito Yuwono, adalah membuat acara zine yang tidak biasa. Tidak biasa itu apa? Berarti kan kita harus cari tahu yang biasa itu seperti apa. Oh yang biasa itu pameran zine, ngelapak, dan segala macam. Apa yang belum? Aku dan Rahma akhirnya punya ide untuk mencoba mengurutkan waktu terbit zine di Yogyakarta. Setelah pengurutan, lalu baca kecenderungannya. Itu praktiknya kan riset dan waktunya sebenarnya tidak bisa singkat. Makanya ZAMAN itu kan sub judulnya a short research.

Kemudian dari bikin acara di LIR Space itu membuat orang banyak memberi zine. Waktu itu juga aku masih kaya karena masih dibantu orang tua, walaupun sudah tidak bekerja dan juga sudah tidak kuliah, jadi masih ada uang yang bisa dipakai untuk mengoleksi zine.

Ketika habis dari Zine Day Osaka, publik mulai lebih mengenal Idisczinepartij lebih umum dari dulu-dulu, dan acaranya juga banyak. Karena sebelumnya kerja-kerjanya itu kan basisnya on project, oh project apa ngerjain apa, kita juga ngisi talk, ngisi workshop, yang di UGM dan di Surabaya.

  1. Kamu ke Osaka ngapain sih?

Aku pingin datang ke Zine Day Osaka. Waktu itu belum kolektif. Ignas juga menyarankan untuk hadir, lalu sepulangnya bisa ngobrol. Mengontak penyelenggara lewat Facebook karena orang Jepang banyak yang pakai Facebook. Akhirnya kami diundang dan setelah mencari dukungan dana hibah akhirnya dapat hibah mobility dari Japan Foundation. Akhirnya jadi berangkat.

Itu adalah awalnya kami melihat skena zine yang sering diomongin orang-orang. Kemudian kami mulai bekerja penuh sebagai kolektif pada tahun 2019. Awalnya aku pakai sebagai aliasku untuk fokus bekerja dengan zine. Oleh karena awalnya kami hanya mengerjakan project, akhirnya kami memilih bekerja sebagai kolektif. Anggotanya juga ganti-ganti. Yang tadinya adalah Dita, Hafid, dan Ignas. Terus sisa Ignas. Lalu aku ajak Rahma yang balesannya agak lucu, “Aku sebetulnya dari dulu pingin ikut”. Yah kenapa tidak dari dulu saja aku ajak Rahma. Terus aku kayak tidak bisa melepaskan peran Fandi Ahmad dalam mengerjakan suatu project. Lalu aku libatkan dia dan ternyata benar secara program jadi lebih terstruktur. Sebelumnya kami yang bekerja mengarsip dan riset zine akhirnya sepakat menamai kelompok kami sebagai kelompok studi.

Indisczinepartij dalam pameran Asana Bina Seni di Taman Budaya Yogyakarta, 2020. Foto dari Instagram @biennalejogja.
  1. Adakah zine paling berpengaruh yang pernah kamu baca?

Kalo aku bilang belum ada itu sah tidak sih? Aku menjumpai banyak zine bagus, tetapi yang kukira akhirnya paling berpengaruh rasanya belum ada.

  1. Bagaimana pandanganmu tentang zine foto?

Hmmm, Disclaimer, aku memang tidak begitu mengikuti. Pertanyaanku untuk para pembuat zine foto, kenapa mereka memproduksi zine? Apakah mereka memang melihat itu adalah tren yang seksi? Atau karena mereka merasa tidak mendapat ruang untuk karya mereka di arus utama sehingga mereka punya inisiatif bikin medianya sendiri?

Fotografi dan bagaimana caranya berkomunikasi itu bagiku unik, punya kekhasannya sendiri. Apalagi aku lebih sering melihat zine foto itu versi cetak sehingga kombinasinya menarik karena produk cetak itu komunikasinya lembar per lembar. Menurutku cetak tidak akan mati sih, kecuali kalau kamu menyoal faktor ekonomi. Itu beda ya, soal zine itu laku atau tidak. Orang bikin zine foto itu harusnya menyadari pilihannya untuk mencetak dan menerbitkannya. Mungkin sama seperti komik dan zine tulisan. Namun, aku juga tidak melihat urgensi mengapa zine harus cetak. Itu disebabkan karena secara sederhana karya bisa ditampilkan di blog.

  1. Harapanmu dari sebuah terbitan zine foto?

Aku berharap semangatnya itu tidak hilang. Semangat untuk menunjukkan “ini loh karyaku” itu tidak hilang. Ini tulisanku, ini gambarku, ini fotoku. Kamu harus menyadari bahwa apa yang dibikin ini tidak bisa untuk dihadirkan di arus utama. Ekosistem ini hadir untuk orang-orang di luar sana yang juga merasa terpinggirkan dan mengajak untuk memercayai bahwa “oh ternyata aku bisa”. Sementara itu, zine itu kan tidak bisa hanya berhenti di produksi saja, harus didistribusikan, dikomunikasikan, dan selalu bertalian erat dengan komunitas. Ketika mendistribusikannya ya jangan sampai dijual ke penerbit besar macam Gramedia juga. Kalau mau ke Gramedia ya Gramedia aja, tetapi jangan bilang kalau itu zine.

Malam pun sudah semakin larut, rokok pun juga sudah habis.

*Format pengajuan pertanyaan diadaptasi dari rubrik empat pertanyaan biasa untuk …. dalam ZAMAN: A Short Research about Zine in Yogyakarta (2017) oleh Rahmawati Nur Azizah dan Doni Y.H. Singadikrama.