Memanusiakan angka dengan kecerdasan buatan

Foto oleh Budi N.D. Dharmawan

Di dalam ruang yang luasnya tidak sampai tiga kali tiga meter persegi itu, 288 pasang mata seperti mengepung dan mengawasi saya. Biar begitu, saya tidak terlalu merasa gentar atau resah, sebab saya insaf, 288 pasang mata itu semata-mata citra, sehingga tidak betul-betul mengancam. Di dalam ruang lain, proyeksi peta Pulau Jawa mengiringi suara Ibu Marni, yang direkam oleh Anton Lucas pada 1980-an, menuturkan kisah hidupnya, yang berkisar pada pengalamannya meloloskan diri dan berusaha bertahan hidup melalui tahun-tahun yang berbahaya, 1965–1966. Kali ini, saya turut merasa ngeri mengikuti kesaksian beliau, yang selalu merasa terancam dan diawasi.

Di dalam ruang lain lagi, proyektor memancarkan situs web interaktif, yang memvisualisasikan narasi sejumlah penyintas peristiwa 1965 lainnya dengan tampilan peta, guna menggambarkan sebaran dan perpindahan geografisnya. Di salah satu sudut ruang itu, tirai hitam menutup sebuah ruang kecil. Di sana ada meja yang diterangi sebuah lampu. Di atas meja terdapat salinan sebuah dokumen militer lama, yang memuat daftar 351 nama korban tewas tragedi 1965 di Kecamatan Cluring, Banyuwangi, Jawa Timur. Arsip itu ditemukan secara tidak sengaja di Yogyakarta pada saat akan dibakar, lantaran lembaga yang menyimpannya tidak lagi menganggapnya bernilai.

Itu yang saya temui, ketika saya mengunjungi pameran tunggal Rangga Purbaya, Tahun-Tahun yang Berbahaya, yang berlangsung Desember 2022 hingga Januari 2023 di Ruang MES 56 Yogyakarta. Judul pameran diambil dari terjemahan judul pidato Presiden Sukarno pada 1964, Tahun Vivere Pericoloso (The Years of Living Dangerously)—saya ingat pernah membeli buku kecil salinan isi pidato tersebut pada 2000-an. Bahaya yang dimaksud Sukarno pada 1964 itu bukan peristiwa berdarah yang kemudian terjadi pada 1965–1966. Sukarno ketika itu merujuk ancaman neoimperialisme, sehingga beliau menyerukan agar masyarakat Indonesia beristikamah menjalankan revolusi.

Bagaimanapun, Sukarno benar tentang satu bahaya lain, yaitu menyangkut kedudukannya. Setelah lolos dari beberapa percobaan pemakzulan dan pembunuhan pada 1950-an–1960-an, Presiden Sukarno akhirnya diturunkan pada 1967, karena menolak untuk membubarkan Partai Komunis Indonesia. Saat itu, tentara menuduh PKI sebagai dalang pembunuhan enam jenderal Angkatan Darat pada 1 Oktober 1965 dini hari. Sementara itu, orang-orang yang dituding sebagai anggota atau terkait dengan partai yang lalu dinyatakan terlarang tersebut ditangkap, dibuang, dihilangkan, atau dibunuh. Diperkirakan, ratusan ribu sampai tiga juta orang tewas selama 1965–1966.

***

Ibu Marni (nama samaran) merupakan salah satu penyintas yang membuka diri dan mengisahkan pengalamannya, sedangkan 351 warga Cluring yang dicatat namanya merupakan sebagian dari mereka yang terbunuh. Cerita-cerita seperti demikian bukanlah hal baru bagi Rangga, sebab dia sendiri merupakan seorang keluarga dari korban periode kelam sejarah Indonesia itu. Kakek Rangga tidak pernah diketahui lagi keberadaannya hingga sekarang, sejak dijemput di rumahnya pada November 1965. Rangga pernah mengangkat soal sosok sang kakek serta upaya keluarganya mencari dan menelusuri jejak beliau di dalam sebuah pameran yang saya kuratori pada 2015.

Karina Roosvita, istri Rangga yang juga menjadi kurator pameran kali ini, menyampaikan pada saat temu wicara di Ruang MES 56 awal bulan ini, bahwa dia sudah lama menjadi rekan diskusi Rangga, khususnya terkait isu 1965. Dia bilang, Rangga kini lebih tenang dan tidak berapi-api, sebab subjeknya agak berjarak, tidak seperti karya terdahulu, yang mengenai keluarganya sendiri. Yang tetap Rangga perhatikan, yaitu bagaimana membawakan cerita ini kepada publik (lewat pameran) dengan aman—artinya, tidak membahayakan penyintas dan keluarganya, serta tidak menimbulkan persoalan baru, khususnya perkara etis, mengingat temanya yang sensitif.

Alasan itu ikut melatari pilihan Rangga menggunakan kecerdasan buatan di dalam menampilkan wajah-wajah korban kekerasan 1965. Wajah-wajah tak bernama itu punya air muka yang sebagian besar serupa. Dilihat sekilas, apalagi kalau diperhatikan dengan cermat, ada sejumlah wajah yang tampak mirip dengan banyak wajah lainnya, karena struktur wajahnya terlihat sama. Bedanya, ada yang sepertinya lebih tua, ada yang kulitnya lebih gelap, ada yang berkumis dan bercambang, ada yang rambutnya lebih lebat atau panjang, dan ada yang matanya lebih bulat. Maklum saja, wajah-wajah itu dihasilkan sebagai variasi dari tiruan berdasarkan beberapa sumber yang sama.

Dengan memakai kecerdasan buatan, Rangga menghindari penggambaran korban 1965, yang merupakan sosok nyata, menggunakan wajah orang lain, yang merupakan sosok nyata pula. Akan tetapi, memvisualkan sosok nyata yang menjadi korban dari peristiwa nyata menggunakan citra khayali, betapa pun tampak seperti asli, bukannya tanpa masalah. Spekulasi semacam ini tentu sangat berisiko jika dilakukan di dalam lorong penelitian atau pewartaan. Akan tetapi, di titik inilah justru seni punya peluang. Dengan cara ini, Rangga mengambil peluang untuk mencoba memanusiakan statistik dengan memberi wajah kepada angka-angka, agar lebih mudah didekati.

***

Foto-foto—atau gambar-gambar serupa foto—hitam putih itu tersusun rapi di dua dinding yang saling berhadapan. Ada enam belas lajur potret berderet setinggi sembilan larik di setiap dinding. Penyajiannya terkesan kaku seperti pasfoto, tetapi karena banyaknya, saya merasa terpanggil juga untuk melihat lebih dekat. Saya kembali teringat dengan kunjungan saya ke Museum Genosida Tuol Sleng di Kamboja pada 2009, yang saya singgung sedikit di dalam catatan kuratorial saya pada 2015. Di gedung sekolah yang dijadikan penjara pada 1975–1979 itu, potret para tahanan juga dipajang berjajar, dengan nomor tahanan dipasang pakai peniti di baju atau leher mereka.

Dengan kenangan tentang pasfoto Tuol Sleng sebagai perbandingan, saya menyadari kurang beragamnya wajah yang dihasilkan kecerdasan buatan di dalam pameran ini—tidak banyak perempuan, etnis Cina, atau juga anak, remaja, dan manula. Pertanyaan saya itu sedikit terjawab setelah saya memeriksa daftar 351 nama tak berwajah korban Cluring yang ada di ruang lain, yang memang kebanyakan laki-laki berusia 30-an sampai 50-an tahun. Pada saat temu wicara di Ruang MES 56, Rangga memaparkan, bahwa dia menimbang usia, gender, pekerjaan, dan perkiraan keragaman etnis di Banyuwangi kala itu sebagai tolok ukur di dalam membuat wajah-wajah ini.

Topik identitas itulah yang memunculkan gagasan untuk membuat tampilan seperti pasfoto tanda pengenal tersebut. Rangga menambahkan, bagi para penyintas 1965, kartu tanda penduduk amatlah penting, karena benda itu merupakan lambang pengakuan negara terhadap keberadaan mereka. Keterangan ini tecermin pula di dalam kesaksian Ibu Marni. Di dalam wacana yang lebih luas, KTP menjadi arena pergumulan pula bagi rekan-rekan yang terpinggirkan karena hal lain, seperti memperjuangkan pengakuan terhadap gender mereka atau terhadap kepercayaan yang mereka anut. Itu baru di atas kertas; belum perjuangan hidup sehari-hari di tengah masyarakat.

Salah satu hal yang Rangga ingin capai melalui pameran ini ialah menjadikan percakapan tentang peristiwa 1965 topik sehari-hari, khususnya bagi generasi muda kini. Di satu sisi, peristiwa aslinya terjadi sudah dua–tiga generasi lalu, sehingga berisiko terlupakan dan terpendam. Di sisi lain, masih banyak data dan fakta seputar kejadian yang tidak diakui dan ditutup-selubungi dengan berbagai mitos, sehingga kebenaran mesti terus dikejar, agar keadilan dapat ditegakkan. Di dalam konteks ini, penggunaan kecerdasan buatan sebagai alat penciptaan menjadi punya nilai tambah, yang dapat menggaet minat pengunjung masa kini, yang kian berjarak dari isu yang diangkat.

***

Belakangan, kecerdasan buatan menjadi buah bibir, sampai-sampai kita seperti silap, bahwa yang kita bicarakan ternyata sekadar segi-segi pemanfaatannya, bukan kecerdasan buatan itu sendiri. Kecerdasan buatan merupakan bidang luas, yang dapat dipahami secara mudah sebagai kemampuan komputer mengolah dan mempelajari data guna mengerjakan suatu tugas yang lazimnya memerlukan kecerdasan insani, seperti meringkas tugas rumit, pengenalan dan penerjemahan bahasa dan gambar, serta pengambilan keputusan. Filter digital kamera gawai dan algoritma media sosial merupakan contoh pemakaian kecerdasan buatan yang lebih sederhana.

Ladang kecerdasan buatan yang lebih pelik (menggunakan serangkaian algoritma yang mampu mengubah algoritma dan menciptakan algoritma baru sendiri yang lebih sesuai, dengan terus mempelajari data yang diterima dan diolah secara mandiri), seperti deep learning dan large language model, akhir-akhir ini dikembangkan luas di dalam menirukan kepandaian manusia. Teknologi inilah yang dimanfaatkan oleh peranti seperti DALL-E, ChatGPT, dan sejenisnya, yang sedang ramai dibicarakan, lantaran kecanggihannya menghasilkan—dengan cepat dan mudah—gambar yang demikian mirip dengan foto, atau teks yang demikian mirip dengan dialog manusia.

Yang juga kita lupakan yaitu kecerdasan buatan bermula dari meniru, sebelum kemudian mesin ini dapat membuat keputusan sendiri lewat pembelajaran dan penyesuaian yang terus-menerus. Kecerdasan buatan tidak sungguh-sungguh mencipta dari nol, namun dilatih membuat tiruan berdasarkan kumpulan data yang diumpankan kepadanya dan dia pelajari, yang lalu dia rekayasa menjadi sesuatu yang tampak baru. Kemiripan dengan kumpulan data yang menjadi bahan awal mungkin akan menurun dengan mengulang daur peniruan dan rekayasa ini, atau dengan memakai bahan awal yang teramat banyak dan beragam, tetapi hasilnya tidak akan pernah betul-betul asli.

Kecerdasan buatan tidak mungkin—atau belum?—bisa kreatif. Mesin bisa jadi dengan mudah menggeser manusia di dalam pekerjaan yang berbasis pengulangan dan ketelitian, yang lebih mengandalkan tenaga dan hitungan, atau yang cenderung teknis, tetapi masih sukar mengambil keputusan yang bersifat situasional atau berkenaan dengan etika. Oleh sebab itulah, pembuat peranti kecerdasan buatan menyasar bidang seni penciptaan guna merekam kreativitas dan selera manusia. Mereka melatih kecerdasan buatan untuk mempelajari bagaimana kita berpikir, menimbang pilihan, dan memecahkan persoalan, agar makin mirip dengan kecerdasan insani.

***

Untuk saat ini, manusia masih belum mampu—jika bukan tidak mungkin—membuat kecerdasan buatan yang etis, atau memastikan agar pengguna peranti kecerdasan buatan mamakainya dengan etis. Ini tentunya tidak lepas pula dari rumitnya menentukan batasan antara yang etis dengan yang tidak, sebagaimana nilai dan norma yang menjadi dasar penilaiannya juga tidak selalu sama antara satu kelompok masyarakat dengan yang lain, serta senantiasa bergeser seturut waktu. Nyatanya, cukup banyak persoalan etis mengemuka terkait dengan cara maupun hasil dari pemanfaatan peranti kecerdasan buatan—bahkan menyangkut keberadaan kecerdasan buatan itu sendiri.

Peranti menyunting foto berbasis kecerdasan buatan, misalnya, cenderung mengubah warna kulit perempuan menjadi lebih terang, lantaran mesinnya dilatih mengenali stereotipe wajah cantik dengan kumpulan data yang bias ras: Cantik yaitu berkulit putih, sehingga kulit gelap dijadikan lebih cerah. Peranti pengenalan wajah pun sering keliru, bahkan kadang-kadang gagal, mengenali wajah pengguna berkulit gelap, juga kerap mengira wajah perempuan kulit hitam sebagai laki-laki. Kecerdasan buatan bekerja dengan data—dan data tidak pernah netral—sehingga condong bias terhadap kelompok yang kurang terwakili di dalam kumpulan data yang diumpankan kepadanya.

ChatGPT dinilai berhasil menirukan dialog manusia; tidak lagi janggal di dalam penyusunan kalimat dan nalar seperti peranti serupa terdahulu. Sejumlah peserta didik memakainya untuk menyelesaikan tugas menulis makalah. Bagi mereka, ini membantu mereka agar tidak membuang waktu. Sebaliknya, bagi para pendidik, tugas menulis justru dimaksudkan untuk melatih para murid bernalar dan berargumentasi. Teknologi memang diciptakan untuk memudahkan kita mencapai tujuan. Namun demikian, pada saat yang sama, kita nyaris selalu didorong pula untuk menimbang apa yang sebetulnya menjadi “tujuan” kita: hasil akhirnya atau cara mencapainya.

Di dalam proyek Tahun-Tahun yang Berbahaya, saya pikir, Rangga memakai kecerdasan buatan bukan semata-mata untuk mendapatkan gambar, melainkan bagaimana gambar itu menjadi jalan untuk membicarakan hal lain. Ini pun bukan kali pertama dia memakai peranti kecerdasan buatan sebagai alat bantu di dalam menghasilkan wajah. Sebelumnya, Rangga mencantumkan nama pada setiap gambar; kini tidak, dengan menyebut pertimbangan etis. Di samping soal etis atau tidak, bagi saya, eksplorasi dan spekulasi seperti yang dilakukan Rangga ini penting juga dilakukan guna menjelajahi kemungkinan dan batasan di dalam membincangkan medium, cara, sekaligus isunya.

Yogyakarta, Januari 2023

Budi N.D. Dharmawan tinggal dan bekerja di Yogyakarta. Budi mengerjakan banyak hal, di antaranya meneliti, memfoto, menulis, menyunting, mengkurasi, juga menjadi pembicara dan mentor. Budi senang mengamati berbagai soal, terutama fotografi, jurnalisme, seni, sejarah, dan pendidikan.