Kilas balik 2012
Beberapa waktu terakhir ini, saya terkenang dengan bulan ini pada sepuluh tahun yang lalu. Pada November 2012, saya diundang mengikuti lokakarya fotografi kolonial yang difasilitasi oleh Alex Supartono. Ketika itu, saya belum pernah bertemu dengannya, namun telah mengenal namanya lewat tulisannya tentang fotografi di dalam Jurnal Kalam dan Harian Kompas. Lokakarya fotografi kolonial itu diselenggarakan sebagai rangkaian kegiatan pameran foto The Sweet and Sour Story of Sugar, yang rupanya terkait dengan penelitian Alex Supartono soal sejarah fotografi di Indonesia. Perkembangan fotografi di Indonesia pada masa kolonial tidak lepas dari geliat industri gula.
Beberapa keperluan lain belum lama ini juga menuntut saya menggeledah arsip berkas dan foto saya, sehingga saya menemukan kembali kenangan lain dari 2012. Proyek foto saya tentang banjir Bengawan Solo dipamerkan keliling Asia Tenggara. Tulisan dan foto saya tentang Raden Saleh diterbitkan majalah National Geographic Indonesia. Saya menjadi asisten lokakarya dengan juru foto Wolfgang Bellwinkel, kemudian juga menjadi asisten residensi kurator seni rupa Serena Bentley. Saya mengunjungi Singapore International Photo Festival. Pada akhir tahun, saya menulis esai untuk pameran tunggal pertama seniman foto anggota Ruang MES 56, Yudha Kusuma Putera.
Penemuan kembali ini mengingatkan saya, betapa 2012—dan tahun-tahun sekitarnya—punya makna khusus bagi saya. Masa sepuluh tahun lalu itu bisa disebut sebagai periode pembentukan untuk hal yang saya kerjakan beberapa tahun belakangan, terutama menulis fotografi. Saya pernah bercerita sedikit mengenai ini di dalam esai pertama saya untuk SOKONG!, pada awal 2021. Saya telah menulis tentang fotografi sejak mulai menyelami fotografi lebih dalam, kira-kira pada 2007 atau 2008. Akan tetapi, baru pada 2012 tema tulisan saya lantas bergeser, dari yang semula menyoal hal teknis dan praksis menjadi cenderung menjamah soal nonteknis dan wacana.
Lokakarya fotografi kolonial pada 2012 itu boleh jadi cukup berpengaruh di dalam perubahan ini. Lokakarya ini memberi saya pijakan untuk membicarakan fotografi melalui sejumlah kajian yang tampaknya tidak berkaitan dengan fotografi. Setelah agak lama saya ingin mencobanya, baru saat itu saya menemukan caranya. Catatan saya dari lokakarya fotografi kolonial dan pameran The Sweet and Sour Story of Sugar merupakan tulisan-tulisan pertama saya yang mulai menyentuh perihal wacana. Di dalam lokakarya yang sebetulnya dirancang untuk lebih bersifat kreatif ketimbang akademis ini, saya justru lebih terdorong untuk menulis dan bukannya membuat karya foto.
Kendati demikian, pergeseran itu tentulah tidak terjadi begitu saja. Pertemuan saya dengan sejumlah juru foto, seniman, kurator, peneliti, dan sejarawan, juga dengan beragam peristiwa, karya, dan gagasan, khususnya sepanjang 2012, turut membantu meneguhkan pijakan saya di dalam menapaki perkara pembacaan dan penulisan fotografi. Lewat pertemuan-pertemuan itu, saya melihat hubungan fotografi dengan seni rupa, sejarah, atau kajian lain, serta kaitannya dengan masyarakat di sekitarnya. Yang tidak kalah pentingnya, saya juga jadi belajar melihat fotografi sebagai sebuah disiplin atau kajian, selain sebagai sebuah praktik atau tindakan.
Lokakarya fotografi kolonial ini diikuti sejumlah perupa yang menggunakan fotografi (termasuk arsip foto) sebagai medium, baik secara langsung (memakai unsur fotografis di dalam karyanya) maupun tidak langsung (memanfaatkan foto sebagai bahan atau alat bantu di dalam berkarya). Pertemuan langsung dengan praktik dan gagasan yang beragam ini mengajak saya keluar dari laku yang biasa saya jalankan. Saya sudah lama berteman dan bergaul dengan sejumlah seniman, kendati praktik fotografi saya tetap kental dengan nuansa dokumenter. Kini, dengan berada di ruang kreatif yang sama dengan mereka, saya jadi bisa merenung dan berefleksi.
Saya sering memperhatikan para peserta lain berproses dengan pemikiran mereka sendiri, juga mengajak mereka mengobrol tentang karya yang akan mereka buat. Ternyata, mereka rata-rata pun merasa pusing, sehingga memerlukan waktu untuk mengudar dan mengolah gagasan. Saya banyak bertanya pula kepada Alex Supartono, di dalam dan di luar forum. Salah satu yang saya tanyakan yaitu tentang tidak dimasukkannya nama dan karya Kassian Céphas, juru foto pribumi pertama, yang hidup dan berkarya pada masa kolonial, di dalam diskusi fotografi kolonial. Saya kira, sosok Céphas penting untuk dibicarakan, tetapi ternyata disebut namanya pun tidak.
Saya ingat, Alex Supartono sempat tersenyum simpul sebelum menimpali pertanyaan saya itu dengan panjang lebar. Ini berhubungan dengan bermasalahnya pengertian “fotografi kolonial” itu sendiri. Para peneliti tidak dapat bersepakat, apakah istilah itu berarti foto pada masa penjajahan, foto di tanah jajahan, foto yang diambil oleh penjajah, foto dengan sudut pandangan penjajah, foto yang seturut agenda penjajahan, atau lainnya. Definisinya berubah-ubah dan setiap definisi menyisakan lubang. Sebagai orang Jawa, Céphas merupakan bangsa terjajah, namun foto-fotonya mengesankan sudut pandangan penjajah. Tidak (atau belum) ada kategori yang cocok untuk itu.
Saya sempat mencoba memadankan sosok juru foto pribumi pertama itu dengan pelukis modern pribumi pertama, Raden Saleh. Sebagai pekerja profesional yang ulung di bidangnya, mereka berkarya sesuai pesanan pembeli dan selera pasar, yaitu kelas menengah ke atas kulit putih. Maka tidaklah mengherankan, jika kemudian karya-karya mereka tidak bercita rasa Jawa, apalagi Indonesia—konsep Indonesia sebagai negara bangsa belum ada pada masa hidup mereka. Hal-hal seperti inilah yang memenuhi kepala saya ketika itu. Pengalaman dan pengetahuan yang telah saya peroleh sebelumnya saling menguji dan diuji dengan pengalaman dan pengetahuan baru.
Percakapan lain yang sempat mengemuka di dalam forum yaitu soal hak cipta. Lokakarya ini menggunakan arsip foto kolonial dari sejumlah museum. Peserta yang ingin memakainya sebagai materi karya diwajibkan mencantumkan sumbernya. Kami lalu membahas, siapa sesungguhnya pemilik hak cipta foto-foto yang usianya sudah seabad ini. Alex Supartono menceritakan, bahwa perdebatan ini sudah lama ada: Siapa pemilik hak cipta foto yang dibuat sebagai pesanan pembeli, studio fotonya atau pembelinya? Sejak awal, para juru foto komersial pun telah saling membajak. Foto-foto yang dinilai laku di pasaran tidak hanya cenderung ditiru, tetapi bahkan sering dijiplak.
Pembicaraan ini mengingatkan saya kepada sebuah tulisan tentang cartes-de-visite, suatu produk fotografi yang amat laku di Eropa pada akhir abad ke-19. Di dalam esainya itu, sejarawan fotografi Geoffrey Batchen menyebutkan persoalan serupa: apakah citra ‘dimiliki’ oleh subjek atau juru foto dan betapa lazimnya penjiplakan, sehingga foto yang sama kerap dijual oleh banyak studio, menunjukkan buramnya perkara pengakuan hak cipta. Artikel tersebut terdapat di dalam sebuah buku fotokopi (baca: bajakan), yang saya beli setahun sebelumnya di sebuah kios buku di dalam salah satu kampus di Bandung, sewaktu saya mengerjakan penelitian tentang Raden Saleh.
Percakapan-percakapan itu belum selesai, namun tetap mesti disudahi, seiring berakhirnya masa lokakarya fotografi kolonial, bersamaan dengan dibukanya pameran foto The Sweet and Sour Story of Sugar. Meskipun begitu, saya dan beberapa orang yang juga menghadiri lokakarya itu—di antaranya Antariksa, peneliti sejarah dan seni rupa berbasis arsip, yang menjadi kofasilitator lokakarya bersama Alex Supartono, dan Aisyah Hilal, yang kala itu menjadi anggota dewan pengawas di galeri tempat pameran dan lokakarya dilaksanakan—merasa sayang jika pertukaran pengetahuan yang terjadi di dalam lokakarya tidak disampaikan kepada orang lain.
Setelah bertemu dan berbincang beberapa kali, kami memutuskan untuk membuat program tambahan berupa tur pameran terpandu berkelompok, yang akan dilaksanakan beberapa kali selama pameran berlangsung. Saya dan Antariksa menyediakan diri menjadi pemandu, bersama Akiq A.W., anggota kolektif seniman Ruang MES 56, yang menjadi kurator pameran ini. Akiq A.W. akan menceritakan pandangan kuratorialnya, Antariksa akan menyampaikan latar sejarah dari foto dan gagasan pameran, sedangkan saya akan membagikan catatan yang saya buat dari lokakarya, di samping juga menambahkan informasi dari segi fotografi dan soal proyek ini.
Saya telah mengetahui tentang proyek fotografi The Sweet and Sour Story of Sugar ini jauh sebelum lokakarya dan pameran berlangsung. Saya sempat bertemu salah satu juru foto yang terlibat di dalam proyek ini sewaktu dia memfoto pabrik gula Madukismo di Bantul pada 2011. Namun demikian, ada beberapa perubahan di dalam pelaksanaannya, sehingga pamerannya agak berbeda dari yang awalnya saya bayangkan berdasarkan informasi yang saya ketahui. Misalnya, proyek ini tadinya akan melibatkan juru foto lokal, namun jadinya hanya memajang karya enam juru foto asing, semuanya lelaki kulit putih—pilihan yang bermasalah untuk membicarakan kolonialisme.
Saya sempat membicarakan ketimpangan hubungan Timur dengan Barat itu dengan Akiq A.W.. Saya mengikuti dari dekat bagaimana dia dan teman-teman Ruang MES 56 menyiapkan pameran ini, karena sering menongkrong dengan mereka. Obrolan kami pun bergulir ke hal-hal lain, hingga kemudian Akiq A.W. mengundang saya menulis untuk pameran lain yang dia kuratori, yaitu pameran tunggal Yudha Kusuma Putera. Anggota muda Ruang MES 56 ini sebelumnya merupakan salah satu peserta lokakarya bersama juru foto Wolfgang Bellwinkel, yang saya asisteni. Karya kami juga pernah dipajang di dalam pameran yang sama di Jakarta pada 2011.
Demikianlah, satu hal mengarah ke hal lainnya, secara langsung maupun tidak langsung, dengan segera ataupun tertunda. Dengan suatu cara maupun cara lainnya, semua menjadi saling terkait. Bagi saya secara pribadi, segenap pengalaman, perjumpaan, dan perenungan itu mengalir pelan-pelan, sampai kemudian bermuara pada keinginan untuk menulis, sebagai sekadar cara untuk mencatat, usaha untuk mengerti, dan ajakan untuk memulai percakapan. Upaya menulis itu memakan waktu lama (sekitar sepuluh tahun) untuk mencari ruang dan rupa, yang menunjukkan betapa perjalanan yang saya tempuh tidaklah linear, meski tetap dapat dilacak arah dan kaitannya.
Pertukaran gagasan soal fotografi kolonial pada 2012 tadi, misalnya, telah berulang kali saya kunjungi kembali di dalam sepuluh tahun terakhir. Yang paling baru, saya sedikit menyentuh topik itu di dalam obrolan dengan Shohifur Ridho’i beberapa pekan lalu. Di dalam pembicaraan daring itu kami mengunjungi kembali buku Menempuh Titik Buta, yang dia tulis dan saya sunting setahun lalu. Shohifur Ridho’i sempat mengatakan, bahwa dia merindukan perbincangan dengan para pembacanya lewat munculnya tanggapan atau ulasan, yang dapat dia gunakan pula untuk becermin. Saya amat mengerti perasaan itu, sebab saya pun memendam kerinduan yang sama.
Kadang-kadang, saya berpikir, mungkin tidak adil juga jika setelah melalui proses panjang dan berliku, saya hendak melihat, mendengar, atau merasakan hasil yang segera. Mungkin percakapan yang saya—serta Shohifur Ridho’i, atau juga beberapa orang lainnya—ingin dengar masih butuh waktu pula untuk mewujud. Saya pun terkenang pada November 2021, ketika saya menghadiri ceramah kurator Yudhi Soerjoatmodjo di Jakarta. Perbincangan yang dia coba awali pada 1990-an baru mulai bermunculan belakangan ini. Dia menunggu lebih dari dua puluh tahun. Mungkin memang saya (kami) juga masih perlu menunggu lebih lama lagi. Akan tetapi, berapa lama?
Yogyakarta, November 2022
Budi N.D. Dharmawan tinggal dan bekerja di Yogyakarta. Budi mengerjakan banyak hal, di antaranya meneliti, memfoto, menulis, menyunting, mengkurasi, juga menjadi pembicara dan mentor. Budi senang mengamati berbagai soal, terutama fotografi, jurnalisme, seni, sejarah, dan pendidikan.