Tentang praktik mengoleksi fotografi di Indonesia
Praktik mengoleksi fotografi secara aktif oleh lembaga apa pun masih belum terjadi di Indonesia. Museum fotografi pun masih sering dipahami secara keliru semata-mata sebagai museum kamera, tempat orang dapat melihat beraneka ragam peranti merekam gambar tersebut dari masa ke masa, belum membicarakan perihal karya fotografi, nilainya, juga wacananya. Ini mencerminkan fotografi di Indonesia masih berfokus pada soal mengambil foto, belum melihat apa pentingnya suatu karya, serta bagaimana fotografi memengaruhi dan dipengaruhi masyarakat.
“A One and a Two” and This is a Three
Sekarang saya menatap kembali foto-foto punggung yang tengah saya kerjakan itu. Ada keluarga, beberapa teman dekat, kenalan-kenalan di proyek kesenian dan berbagai orang asing. Mereka yang tengah menatap sesuatu. Mereka yang mungkin tidak tahu sedang saya rekam karena lagi-lagi, kebenaran yang bisa kita lihat hanya setengah saja, kan?
Catatan Proses Workshop Short Route di MIWF 2024
Workshop SHORT ROUTE semangat dasarnya memanfaatkan segala infrastruktur yang tersedia. Memanfaatkan segala prasarana yang terjangkau, baik akses maupun modal. Seringkali pembuatan publikasi foto terhambat oleh bentuk produksi yang fancy dan mengedepankan quality. Workshop ini dibuat untuk menawarkan model produksi yang keluar dari perangkap model produksi berbiaya mahal seperti itu, yaitu dengan menyiasati keterbatasan dengan memaksimalkan keterbatasan itu sendiri.
Di Sekitar Peristiwa Fotografis
Di hadapan peristiwa-peristiwa fotografis itu, keindahan-keindahan itu, kami seolah terlalu eman untuk melihatnya hanya dengan mata telanjang. Mata kami—juga Anda—adalah nama lain bagi kesementaraan, dan keindahan apa pun yang dilihatnya akan berlalu sebagai kisah. Fotografi sebagai perangkat pengabadian perlu dikerahkan untuk meretas kesementaraan itu. Agar apa? Agar supaya siapa pun yang tak hadir di hadapan peristiwa-keindahan itu bisa turut menyaksikannya, meski penyaksiannya tak penuh seluruh.
Catatan Pertemuan For Your Poetry
Dalam naskah Indeks Penghabisan Manusia (FYP: For Your Poetry), saya merasakan dilema tentang identitas. Di mana kata-kata tampaknya salah tempat tetapi dalam gambaran yang lebih besar menceritakan sebuah kisah dalam cerminan identitas Indonesia dari perspektif global. Terutama sejak saya pindah dari Indonesia ketika saya berusia 18 tahun. Saya merasakan beberapa keterputusan antara memori masa lalu, harapan masa lalu tentang Indonesia, dan pengalaman saya sekarang sebagai orang Indonesia-Kanada.
Lebaran dan Hal-Hal Visual yang Tak Selesai
Pada dasarnya, apa sih yang orang abadikan saat lebaran? Kenapa pula yang diabadikan itu harus disebarluaskan ke segala penjuru lewat angin komputasi digital? Jika fotografi diposisikan semata sebagai perangkat, dua pertanyaan tadi terdengar nonsens. Ya suka-suka oranglah mau menggunakan kameranya buat apa. Namun, jika kita memosisikan fotografi sebagai cara pandang, kita bisa bicara lebih jauh soal tatapan dan pikiran kita sendiri bahkan sebelum tangan menyentuh kamera.
Memanusiakan angka dengan kecerdasan buatan
Dengan memakai kecerdasan buatan, Rangga menghindari penggambaran korban 1965, yang merupakan sosok nyata, menggunakan wajah orang lain, yang merupakan sosok nyata pula. Akan tetapi, memvisualkan sosok nyata yang menjadi korban dari peristiwa nyata menggunakan citra khayali, betapa pun tampak seperti asli, bukannya tanpa masalah. Spekulasi semacam ini tentu sangat berisiko jika dilakukan di dalam lorong penelitian atau pewartaan. Akan tetapi, di titik inilah justru seni punya peluang. Dengan cara ini, Rangga mengambil peluang untuk mencoba memanusiakan statistik dengan memberi wajah kepada angka-angka, agar lebih mudah didekati.
Membayar $4.9 untuk Melihat Wajahku Menjadi Semakin Kabhi Khushi Kabhie Gham
Awalnya aku mengira pekerjaan-pekerjaan yang banyak pengulangan seperti akuntansi dan administrasi akan terlebih dahulu runtuh karena komputerisasi dan AI (Artificial Intelligence). Ternyata malah seni yang mulai diambil alih oleh teknologi. Sekarang kita bersenang-senang memanfaatkan AI yang berperan sebagai pengganti ilustrator. Bagaimana dengan esok? Melihat aplikasi Lensa, aplikasi foto editing yang memiliki fitur pembuatan avatar yang sedang meledak dan populer sebulan terakhir, apakah ini babak baru dalam penciptaan karya seni rupa?
Kilas balik 2012
Pertemuan saya dengan sejumlah juru foto, seniman, kurator, peneliti, dan sejarawan, juga dengan beragam peristiwa, karya, dan gagasan, khususnya sepanjang 2012, turut membantu meneguhkan pijakan saya di dalam menapaki perkara pembacaan dan penulisan fotografi. Lewat pertemuan-pertemuan itu, saya melihat hubungan fotografi dengan seni rupa, sejarah, atau kajian lain, serta kaitannya dengan masyarakat di sekitarnya. Yang tidak kalah pentingnya, saya juga jadi belajar melihat fotografi sebagai sebuah disiplin atau kajian, selain sebagai sebuah praktik atau tindakan.
Sejarah dan fotografi Indonesia di dalam Fotomedia
Berkaca dari hal-hal yang saya temukan (kembali) ketika membaca-baca Fotomedia, saya kira fotografi di Indonesia pada akhir abad ke-20 dan awal abad ke-21 seperti sedang mengalami masa keemasan. Saya tidak mengatakan, bahwa fotografi kemudian mengalami kemerosotan, namun kita kini mengalami pergeseran yang saya rasa masih perlu dipetakan.
Apakah fotografi sendiri (tidak) cukup?
Fotografi seperti bergantung pada pengetahuan-pengetahuan lain, sehingga sering dikritik. Di dalam membahas fotografi, tidak jarang orang terlampau menaruh perhatian pada sejarah dan perkembangannya. Sejarah fotografi pun kerap dipaparkan sebagai pergeseran teknologi, atau dilihat melalui kacamata antropologi atau dengan bingkai sejarah seni. Ulasan mengenai seorang juru foto sering berfokus pada riwayat dan kurang melirik penjelajahan kreatifnya. Perbincangan tentang pemakaian fotografi sehari-hari cenderung merujuk jurnalisme, media, atau gaya hidup. Fotografi seakan-akan tidak (di-) hadir (-kan) di dalam percakapan-percakapan tentang fotografi.
Dua tahun pandemi dan cita-cita lama
Saya membeli buku karena ingin melihat suatu karya atau seorang juru foto secara lebih menyeluruh, tidak hanya sebagai suatu gambar atau sebuah nama yang berdiri sendiri. Buku menghadirkan konteks, umpamanya dengan menampilkan suatu foto bersama serangkaian atau sepilihan foto lain yang turut menjadi bagian dari karya seseorang, juga menyertakan teks yang menerangkan perihal foto itu dan pembuatnya.
Tentang mentoring dan menjadi mentor
Baik rentang panjang, sedang, maupun pendek, prinsip pendampingan saya tidak berubah, bahwa pesertalah yang mesti memimpin, sedangkan mentor berlari di belakangnya. Akan tetapi, itu bukan berarti mentor semata-mata mengikuti secara pasif, melainkan juga menjadi pengaktif (enabler), dengan cara mendorong, menguatkan, dan menyeimbangkan (tut wuri handayani). Tidak kalah penting, mentor berperan membangun semangat peserta (ing madya mangun karsa), bukan menghancurkannya. Terkadang saya pun memberi contoh (ing ngarsa sung tuladha), tetapi saya coba berhati-hati, agar peserta bukan sekadar menirukannya, melainkan sungguh memahaminya.”
Tentang menulis tentang kritik tentang fotografi
Di sisi lain, bersamaan dengan gelombang “semua orang adalah juru foto”, kemajuan teknologi juga membawa gelombang “semua orang adalah pengkritik”—di dalam pengertian yang dipotong dan disederhanakan. Memakai ibu jari, “semua orang” bisa memfoto dan mengunggahnya ke media sosial dengan mudah. Melalui cara serupa dan sama mudahnya, “semua orang” dapat pula menyatakan kesukaan atau ketidaksukaannya—kritik yang demikian berjarak dari sikap kritis.
Fotografi dan Terapi dari Kacamata Seorang Pengajar
Sebetulnya setiap orang berduka dengan caranya mereka sendiri. Kalau berduka ada sesuatu yang kosong dan kita berusaha untuk fill in the gap. Kita berusaha mengisi yang kosong. Sebetulnya mengisi yang kosong itu karena ada tuntutan bahwa you have to be happy, atau ada tuntutan, ada desakan dari sekitar kita. Susah untuk bilang you have to fill the gap, you have to fill the hole, karena jangan-jangan hole-nya itu dibutuhin sama kamu sendiri.
Membaca arsip foto keluarga
Arsip tidak netral, karena dibangun dengan pemilihan dan pemilahan. Tujuan, kepentingan, dan kategori menciptakan pembedaan antara yang dianggap relevan dan layak diarsipkan dengan yang tidak, sehingga arsip sering bersifat sepihak. Oleh karena itu, kita tidak dapat melihat arsip semata-mata sebagai kumpulan fakta objektif, namun juga perlu menengok hal-hal yang luput dari pengarsipan dan memeriksa dampak sosialnya.
Kurator dan kurasi (dan kritik) fotografi di Indonesia
Peran seorang kurator dapat dibandingkan dengan seorang kritikus, yang bertugas menjembatani pemirsa kepada pameran secara keseluruhan atau suatu karya di dalamnya. Kritik di sini bukanlah menghakimi atau mengejar kelemahan belaka, melainkan sebuah upaya untuk memahami karya melalui analisis dan evaluasi.
Merangkai foto, menjalin cerita
Saya rasa, ini ada hubungannya dengan kuatnya kecenderungan fotojurnalisme di dalam praktik fotografi di Indonesia. Padahal, cerita foto juga dapat dibuat dengan pendekatan subjektif atau personal, ataupun memakai penuturan fiksional. Kisah foto yang demikian masih belum banyak diteroka.
Au Loim Fain, Romi Perbawa
Berita tentang Pekerja Migran Indonesia tidaklah sebanyak berita-berita pembangunan dan berita politik lain. Ironi, mengingat Indonesia masih melihat mereka sebagai pahlawan devisa. Lewat buku ini, saya diajak untuk melihat lebih banyak. Terlebih mendapati hal yang lebih jarang lagi saya ketahui, lapis dua permasalahan besar yang bertaut dengan isu Pekerja Migran Indonesia, yakni perihal keluarga, khususnya anak-anak dari para pekerja migran.
Salah kaprah keberaksaraan visual
Yang kerap terlupakan di dalam membaca gambar adalah, bahwa makna tidak melekat pada gambar itu atau sudah ada sejak dari ‘sananya’. Sebaliknya, makna hadir di dalam kesadaran kita selaku pemandang, baik sebagai kelompok maupun—terutama—sebagai pribadi yang berpikir. Makna, dengan demikian, bersifat asosiatif (kita yang menautkan gambar itu dengan suatu makna tertentu), referensial (makna tidak lepas dari hal lain yang dijadikan rujukan), dan kontekstual (makna dapat berubah bila kerangka acuannya diganti).
Meriwayatkan Jarak dan Rembulan yang Terserak, Aji Susanto Anom
Menggunakan fotografi sebagai perangkat tulis jurnal, Aji, sekali lagi, meneruskan langgam dokumentasi personal yang menjadikan keluarga sebagai pusat domestikasi kehidupan sehari-hari. Menggunakan foto hitam-putih, Aji menggubah berbagai ungkapan simbolis melalui rekaman langsung peristiwa dan suasana lingkungan sehari-hari. Foto-fotonya memanfaatkan citraan alam sebagai proyeksi kerinduan terhadap pasangan hidup.
Membicarakan fotografi dengan menulis
Kecenderungan fotografi sebagai dokumen (merekam) kerap pula dipandang berseberangan dengan kecenderungan fotografi sebagai seni (mencipta), padahal mungkin tidak mesti begitu (dapatkah fotografi seutuhnya mencipta dan sepenuhnya tidak merekam; atau haruskah seni selalu disamakan dengan mencipta?).
sepuluh pertanyaan biasa untuk DONI Y.H. SINGADIKRAMA
Kamu harus menyadari bahwa apa yang dibikin ini tidak bisa untuk dihadirkan di arus utama. Ekosistem ini hadir untuk orang-orang di luar sana yang juga merasa terpinggirkan dan mengajak untuk memercayai bahwa “oh ternyata aku bisa”.
Pesta dalam Kamera 72 Frame
Cetakan foto dengan butiran film kasar terpajang dalam sebuah kafe yang dipenuhi anak-anak muda kelas menengah saat gelombang pandemi masih merangkak naik. Cetakan yang menampilkan dokumentasi dari praktik mengarsip party scene dalam pameran PM-AM dikerjakan secara kolektif oleh Post Party Syndroma.
Seputar Tirakat Qolbee Maliki
Aku melihat retrospeksi lebih seperti tindak merefleksikan masa lalu. Mengunjungi kembali sebuah situs penting dalam sejarah hidupku. Penelaahan pengalaman. Aku hidup sekitar tujuh tahun di pesantren. Usiaku sekarang 22 tahun.
Mencoba Membaca Serangkai Ironi
Apa yang bisa ditawarkan oleh sebuah, serangkai, atau setumpuk foto? Bisa saja kita berharap untuk mengubah keadaan. Terlalu egois sekiranya jika aku berharap keadaan mereka menjadi tidak lebih baik. Namun, di luar itu, Zulkifli bagiku berhasil memberikan pengalaman yang lain dalam melihat situasi yang pelik. Ironis sekaligus memuaskan.
Remains, Ardiles Akyuwen
Ketika menengok kembali pilihan maksud untuk Remains, saya menggarisbawahi tiga buah hal, yaitu potongan, bagian, dan sesuatu yang terus ada. Saya meletakkannya sebagai panduan dalam membaca dokumentasi foto yang mengetengahkan ruang-dalam kehidupan keluarga Ardiles yang tersusun dan tersebar pada setiap halaman buku.